(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)
Jerry Greenfield, salah satu pendiri merek es krim ikonik Ben & Jerry’s, resmi mundur setelah 47 tahun bersama perusahaan yang ia bangun bersama Ben Cohen. Keputusan ini dipicu perselisihan besar dengan induk perusahaan, Unilever, terkait kebebasan merek untuk bersuara dalam isu-isu sosial dan politik. Greenfield menegaskan bahwa alasan utama pengunduran dirinya adalah pembatasan yang diberlakukan Unilever, yang kini tidak lagi mengizinkan Ben & Jerry’s mengambil sikap terhadap isu-isu global.
Sejak awal, Ben & Jerry’s memang dikenal bukan sekadar merek es krim, melainkan juga simbol aktivisme sosial. Mulai dari isu lingkungan, keadilan rasial, hingga perdamaian dunia, merek ini kerap menyuarakan sikap politik yang progresif.
Didirikan pada 1978 di Burlington, Vermont, Ben & Jerry’s berawal dari sebuah pompa bensin tua yang disulap menjadi toko es krim. Perpaduan rasa unik seperti Chunky Monkey hingga Chubby Hubby, ditambah nama-nama produk yang nyentrik, membuat merek ini cepat dikenal. Namun, yang benar-benar membedakan Ben & Jerry’s adalah bagaimana sering kali mereka mengaitkan bisnis dengan misi sosial. Ketika Unilever mengakuisisi Ben & Jerry’s pada tahun 2000, kedua pendiri berhasil memasukkan klausul yang menjamin misi sosial tetap melekat dalam struktur tata kelola perusahaan. Kini, menurut Greenfield, janji itu telah dilanggar.
Arah Baru Unilever
Unilever saat ini tengah merencanakan spin-off unit yang menaungi Ben & Jerry’s, dengan rencana pencatatan saham di Amsterdam. Sementara itu, Cohen dikabarkan berusaha menggalang investor untuk membeli kembali merek tersebut, meski Unilever belum menunjukkan keinginan untuk melepasnya.
Dalam pernyataan resminya, Unilever menyebut pihaknya tetap mendukung nilai-nilai Ben & Jerry’s dan menolak klaim Greenfield. Namun, bagi Greenfield, batasan yang ada sudah melampaui titik kompromi.
Ketika Founder Pecah: Pelajaran dari Ben & Jerry’s untuk Dunia Bisnis
Ketika Jerry Greenfield, salah satu pendiri Ben & Jerry’s, memutuskan mundur setelah 47 tahun bersama merek es krim ikonik itu, dunia bisnis tersentak. Alasannya bukan soal keuntungan atau inovasi rasa, melainkan konflik nilai dengan induk perusahaan Unilever. Greenfield merasa merek yang ia bangun bersama Ben Cohen telah “dibungkam” untuk tidak lagi bersuara tentang isu-isu keadilan sosial dan politik.
Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan antara misi sosial, kepentingan komersial, dan dinamika kepemilikan. Lebih jauh, ia memberi cermin berharga bagi para pendiri bisnis: bagaimana caranya agar founder tetap sejalan dalam perjalanan panjang?
Founder Conflict: Ancaman yang Sering Diabaikan
Konflik antar-founder adalah penyebab utama kegagalan startup. Penelitian Noam Wasserman dalam The Founder’s Dilemmas menyebut 65% kegagalan startup berasal dari konflik internal antar-founder dan manajemen awal.
Sumber konflik biasanya berakar pada:
- Perbedaan visi dan arah pertumbuhan.
- Gaya kepemimpinan yang tidak kompatibel.
- Kepentingan finansial yang tidak seimbang.
- Perbedaan sikap terhadap risiko dan ekspansi.
Kasus Ben & Jerry’s memperlihatkan bahwa bahkan founder yang solid pun bisa “pecah jalan” ketika visi mereka tidak lagi diakomodasi dalam struktur tata kelola.
Ada beberapa kerangka akademis yang relevan:
-
Agency Theory – menyoroti konflik antara pemilik dan pengelola karena perbedaan kepentingan. Pada level founder, konflik muncul ketika ada yang lebih mengejar valuasi jangka pendek, sementara lainnya ingin menjaga visi jangka panjang.
-
Stewardship Theory – menekankan pentingnya pemimpin bertindak sebagai penjaga nilai bersama (steward), bukan sekadar mengejar keuntungan. Jika satu founder bergeser ke arah “profit only”, disharmoni akan muncul.
-
Psychological Ownership – menjelaskan bahwa rasa memiliki tidak sekadar soal saham, tetapi juga keterikatan emosional. Jika salah satu founder merasa teralienasi dari keputusan, ikatan ini hilang, dan konflik jadi tak terhindarkan.
Strategi Memilih Partner yang Tepat dan Tetap Sejalan
1. Memilih Partner: Bukan Hanya Soal Kecocokan, tapi Keberlanjutan
Banyak bisnis yang pecah bukan karena produk gagal atau pasar tidak merespons, tetapi karena para pendiri tidak lagi satu suara. Di tahap awal, sering kali orang memilih co-founder karena faktor kedekatan pribadi—teman kuliah, sahabat lama, atau kolega kerja. Padahal, hubungan pertemanan tidak otomatis berarti siap menghadapi tekanan bisnis bersama.
Ada beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan:
-
Kesamaan Nilai dan Visi:
Sehebat apa pun skill seseorang, jika ia tidak memiliki nilai yang sama, perjalanan bisnis akan penuh gesekan. Nilai dasar seperti kejujuran, cara pandang terhadap uang, atau sikap terhadap risiko menjadi fondasi yang menentukan arah jangka panjang. -
Komplementaritas Keahlian:
Sebuah tim founder yang ideal ibarat tim olahraga. Tidak mungkin semua orang jadi striker; harus ada yang bertahan, ada yang mengatur permainan, dan ada yang mencetak gol. Misalnya, satu founder kuat di pengembangan produk, satu lagi menguasai strategi pemasaran, sementara yang lain memiliki kemampuan keuangan. Dengan begitu, setiap keputusan besar bisa dilihat dari berbagai perspektif. -
Track Record Kerja Sama:
Partner yang tepat bukan hanya pintar, tapi sudah terbukti bisa diandalkan dalam situasi sulit. Kalau sebelumnya pernah menghadapi tekanan bersama—entah dalam proyek, organisasi, atau bisnis kecil—itu bisa menjadi indikator daya tahan kolaborasi. -
Tes Komitmen:
Banyak konflik muncul karena satu pihak mengorbankan banyak hal, sementara pihak lain setengah hati. Tes sederhana bisa dilakukan: apakah semua founder siap mengalokasikan waktu, tenaga, bahkan modal pribadi di awal? Komitmen ini penting agar tidak ada rasa ketidakadilan di kemudian hari.
2. Menjaga Keselarasan: Hubungan Founder Ibarat Pernikahan Bisnis
Memulai dengan partner yang tepat hanyalah langkah awal. Sama seperti pernikahan, hubungan founder harus terus dipelihara. Jika tidak, perbedaan kecil bisa berkembang menjadi konflik besar. Beberapa strategi yang bisa membantu adalah:
-
Founder Agreement:
Dokumen ini bukan hanya soal pembagian saham. Ia mencakup mekanisme voting, aturan jika ada founder yang ingin keluar, hingga cara menyelesaikan konflik. Yang paling penting, dokumen ini juga menegaskan kembali visi dan misi bersama agar tidak hilang di tengah perjalanan. -
Ritual Alignment:
Selain rapat operasional, penting ada pertemuan khusus yang membicarakan arah besar dan nilai. Misalnya, pertemuan tahunan founder untuk merefleksikan: “Apakah kita masih berjalan sesuai visi awal? Apakah nilai kita masih terjaga?” Ritual seperti ini membantu menyegarkan kembali komitmen bersama. -
Komunikasi Transparan:
Banyak pecah kongsi berawal dari hal kecil yang ditutupi—seperti keputusan finansial yang tidak dilaporkan, atau strategi bisnis yang hanya diketahui satu pihak. Karena itu, aturan komunikasi harus jelas: semua keputusan besar wajib diketahui dan disetujui bersama. -
Board of Advisors yang Netral:
Kehadiran penasihat independen, baik profesional maupun figur senior, bisa menjadi penyeimbang ketika ada perbedaan tajam. Mereka berfungsi sebagai pihak ketiga yang objektif, sehingga keputusan tidak hanya berdasarkan ego masing-masing founder. -
Revisit Purpose:
Seiring pertumbuhan, bisnis mudah tergelincir menjadi sekadar mesin uang. Padahal, yang menyatukan founder biasanya bukan sekadar keuntungan, melainkan tujuan lebih besar (why). Mengingat kembali alasan mendirikan bisnis—apakah untuk memberdayakan masyarakat, menciptakan inovasi, atau membangun legacy—bisa menjadi perekat utama.
Kasus Perpecahan di Indonesia
Ada beberapa contoh di Indonesia di mana perusahaan atau startup mengalami konflik antar-founder hingga akhirnya pecah kongsi. Beberapa yang cukup dikenal:
- Gojek (awal mula)
- Awalnya didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran.
- Michaelangelo Moran (desainer logo Gojek) keluar di awal karena perbedaan fokus dan ingin melanjutkan passion di industri kreatif. Meski tidak terlalu “drama”, ini menunjukkan dinamika founder yang bisa berujung pada perpisahan.
- Kaskus
- Didirikan oleh Andrew Darwis, Ken Dean Lawadinata, dan Sukan Makmuri (di periode berbeda).
- Di balik layar, sempat ada konflik internal, terutama ketika Kaskus diambil alih oleh grup besar (Djarum/Global Digital Prima). Andrew Darwis akhirnya mundur dari operasional, dan publik melihat ini sebagai bentuk “pecah kongsi” dengan partner bisnis.
- Bukalapak
- Achmad Zaky (founder) mundur dari posisi CEO, kemudian digantikan oleh Rachmat Kaimuddin. Meski Zaky tidak benar-benar “pecah kongsi” dengan co-founder lain, tetapi ada indikasi ketegangan soal arah bisnis (misalnya fokus ke profitabilitas vs ekspansi).
- Partner co-founder lain (Nugroho Herucahyono) juga mundur pada 2020.
Beberapa startup di Indonesia (terutama di e-commerce dan fintech) juga mengalami konflik antar-founder, biasanya terkait pembagian saham yang tidak adil, visi yang berbeda (growth vs sustain), atau masalah transparansi keuangan. Hanya saja, banyak kasus ini tidak terekspos publik karena lebih cepat diselesaikan dengan jalan “buy out” atau exit salah satu founder.
Pola umum yang terlihat:
- Founder keluar karena perbedaan visi jangka panjang.
- Ada konflik saat masuknya investor besar yang mengubah arah bisnis.
- Masalah ego dan pengambilan keputusan juga sering muncul.
Ben & Jerry’s lahir dari visi bahwa es krim bisa menjadi medium menyuarakan keadilan sosial. Namun, ketika nilai itu terancam, salah satu pendirinya rela mundur. Dari sini kita belajar bahwa fondasi perusahaan bukan hanya modal, melainkan keselarasan visi antar-founder.
Jika founder tidak berhati-hati sejak awal, konflik bisa menjadi bom waktu. Sebaliknya, dengan partner yang tepat, kesepakatan yang kuat, dan komitmen menjaga nilai, perusahaan bisa tetap berjalan jauh tanpa kehilangan “jiwa”-nya.

