lulusan 2025

Lulusan 2025 Memasuki Pasar Kerja yang Berat

(Business Lounge – Human Resources) Para lulusan baru tahun 2025 menghadapi tantangan besar saat mereka keluar dari dunia akademik menuju dunia kerja. Dengan pasar tenaga kerja yang mulai menunjukkan tanda-tanda pendinginan, pengurangan perekrutan di sektor teknologi, serta naiknya persaingan global karena sistem kerja jarak jauh, mereka dihadapkan pada kenyataan keras yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami para lulusan tahun 2020 saat pandemi COVID-19 melanda. Namun, ada satu perbedaan penting: walau kondisi ekonomi tetap menantang, dunia kerja kini lebih kompleks karena integrasi teknologi yang lebih dalam dan tuntutan baru terhadap keterampilan digital serta fleksibilitas kognitif.

Generasi Z yang lebih tua—mereka yang telah lebih dulu memasuki dunia kerja pada masa awal pandemi—punya banyak pelajaran yang bisa dibagikan. Dalam sebuah diskusi grup chat yang dihimpun oleh The Wall Street Journal, para lulusan 2020 berbagi saran kepada adik-adik kelas mereka yang sedang bersiap menghadapi dunia kerja. Salah satu pesan utama yang berulang adalah pentingnya bersikap fleksibel—baik dari sisi industri, lokasi kerja, jenis kontrak, hingga ekspektasi awal terhadap gaji. Dalam periode ketidakpastian, fleksibilitas bukan hanya keunggulan, tetapi juga syarat bertahan.

Seorang peserta diskusi, kini analis di bidang teknologi keuangan, membagikan pengalamannya yang melamar lebih dari seratus pekerjaan sebelum akhirnya diterima di satu perusahaan. Ia menyarankan agar para lulusan 2025 tidak terpaku pada pekerjaan impian atau sektor yang sempit, melainkan melihat setiap peluang sebagai batu loncatan untuk membangun jaringan dan menambah keterampilan. “Pekerjaan pertama bukan penentu hidup,” katanya. “Itu awal dari sebuah proses panjang membangun nilai profesional dan kepercayaan diri.”

Aspek lain yang menonjol dibandingkan tahun 2020 adalah peran kecerdasan buatan (AI) dalam seluruh ekosistem kerja, mulai dari rekrutmen hingga pelaksanaan pekerjaan. Banyak sistem seleksi kini menggunakan algoritma untuk menyaring CV sebelum sampai ke mata manusia. Ini berarti lulusan baru harus memahami cara kerja sistem semacam itu, termasuk bagaimana memasukkan kata kunci yang relevan, menyesuaikan format dokumen, dan menghindari istilah yang ambigu. Optimisasi resume bukan lagi sekadar estetika, tetapi kebutuhan fungsional.

Di sisi lain, para lulusan juga perlu menyiapkan diri untuk bekerja berdampingan dengan AI. Salah satu anggota diskusi menekankan pentingnya mengasah kualitas manusiawi—seperti empati, kecerdasan sosial, dan kemampuan berpikir kritis—yang belum bisa digantikan mesin. “Bersaing dengan AI adalah pendekatan keliru. Kita justru harus tahu cara mengarahkan AI untuk meningkatkan performa tim,” ujarnya. Beberapa profesi kini justru berkembang karena keberadaan AI, bukan tergantikan olehnya.

Topik yang banyak diperbincangkan dalam diskusi tersebut adalah soal membangun kehadiran daring. Di era digital, profil LinkedIn, portofolio online, bahkan unggahan media sosial bisa menjadi alat penting untuk menonjol di antara ribuan pelamar. Salah satu Gen Z yang telah bekerja mengatakan ia mendapat tawaran kerja lewat interaksi komentar LinkedIn yang cerdas dan penuh wawasan. Kehadiran digital, menurut mereka, harus otentik namun strategis. Ini bukan hanya soal pencitraan, tetapi memperluas jejak profesional.

Seiring meningkatnya jumlah pekerjaan freelance dan kontrak jangka pendek, lulusan baru juga diimbau agar tidak memandang jalur karier sebagai sesuatu yang linear. Seorang kontributor menyebut bahwa selama tiga tahun pertama kariernya, ia berpindah-pindah dari proyek ke proyek, membangun pengalaman dalam berbagai sektor, dari pemasaran digital hingga analitik data. Meskipun awalnya terasa tidak stabil, jalur ini membuatnya lebih fleksibel dan cepat beradaptasi terhadap perubahan di tempat kerja.

Di balik segala strategi dan taktik, ada pesan universal yang selalu muncul: jangan terlalu keras pada diri sendiri. Banyak lulusan 2020 yang mengaku sempat merasa putus asa, tertinggal, bahkan kehilangan arah karena kesulitan memperoleh pekerjaan tetap. Namun, setelah beberapa tahun, mereka menyadari bahwa laju karier sangat individual. Kecepatan mendapat pekerjaan pertama tidak menjamin keberhasilan jangka panjang. Lebih penting membangun ketahanan mental dan kemampuan untuk bangkit dari kegagalan.

Seorang partisipan menyarankan agar para lulusan 2025 memandang tahun pertama mereka sebagai masa pembentukan karakter. Dunia kerja bukan hanya tempat untuk mengejar prestasi, tetapi ruang belajar emosional: bagaimana mengelola stres, membangun rutinitas, dan mengenali kekuatan serta keterbatasan pribadi. “Tidak semua keberhasilan bisa diukur dengan jabatan atau angka gaji,” katanya. “Sering kali, pencapaian terbesar adalah mampu menjaga semangat dalam situasi sulit.”

Sementara banyak ketidakpastian masih membayangi pasar kerja tahun 2025—dari geopolitik global hingga dampak iklim terhadap sektor ekonomi tertentu—para lulusan tidak benar-benar sendirian. Mereka memiliki akses ke sumber daya digital seperti platform pembelajaran daring, webinar karier, komunitas alumni di media sosial, dan layanan konseling karier dari kampus. Solidaritas antar-Gen Z menjadi kekuatan tersendiri, di mana pengalaman kolektif menjadi bahan pertukaran strategi dan semangat.

Para perekrut juga mulai menyesuaikan pendekatan mereka. Banyak perusahaan kini lebih fokus pada potensi belajar dan soft skills daripada pengalaman kerja semata. Beberapa bahkan mengembangkan program onboarding yang lebih panjang dan bersifat mentor-based untuk membantu lulusan baru menyesuaikan diri. Di tengah semua tantangan, ada tanda-tanda bahwa pasar kerja mencoba menjadi lebih manusiawi.

Pada akhirnya, tidak ada satu formula pasti menuju sukses. Dunia kerja pasca-pandemi, diwarnai teknologi dan ketidakpastian global, menuntut adaptasi yang berkelanjutan. Namun, keberanian untuk mencoba, ketekunan dalam proses, dan kemauan untuk terus belajar tetap menjadi fondasi yang tak tergantikan. Lulusan 2025 mungkin memulai perjalanan mereka dalam masa sulit, tetapi dengan mentalitas yang tepat dan dukungan dari sesama, mereka punya potensi besar untuk tumbuh dan membawa perubahan.

Bagi setiap lulusan, cerita karier akan berbeda. Yang terpenting adalah terus bergerak maju, bahkan ketika langkahnya pelan. Karena dalam dunia kerja modern, keberhasilan bukan tentang siapa yang mulai duluan, tapi siapa yang mampu bertahan, belajar, dan berkembang di tengah perubahan yang terus bergulir.

Di Indonesia, situasinya memiliki kemiripan namun juga tantangan tersendiri. Sebagian besar angkatan kerja masih berada di sektor informal, dan ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Banyak lulusan baru dari perguruan tinggi di luar Pulau Jawa harus bersaing lebih keras karena akses terhadap peluang kerja masih belum merata. Selain itu, mismatch antara jurusan kuliah dan kebutuhan industri masih menjadi masalah klasik. Lulusan dari jurusan umum menghadapi tantangan besar dalam menemukan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang akademik mereka.

Sementara itu, sektor teknologi digital di Indonesia tumbuh pesat, namun tidak serta merta menyerap seluruh lulusan. Banyak perusahaan rintisan (startup) memerlukan talenta yang sangat spesifik, dan seringkali menargetkan lulusan dari kampus unggulan atau yang sudah memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Di sisi lain, kebijakan pemerintah seperti program Kartu Prakerja atau pelatihan vokasi mulai membuka jalan bagi lulusan baru untuk mengejar keterampilan tambahan yang lebih relevan dengan industri.

Peluang wirausaha juga menjadi alternatif yang menjanjikan. Generasi muda di Indonesia semakin akrab dengan ekosistem digital, dan e-commerce, konten kreator, maupun pekerjaan berbasis jasa (seperti desain dan penerjemahan) terus tumbuh. Namun, tidak semua lulusan siap menjadi wirausaha karena minimnya pengalaman bisnis dan akses terhadap modal.

Dengan demikian, tantangan bagi lulusan 2025 di Indonesia bukan hanya mendapatkan pekerjaan, tetapi membangun arah karier yang realistis, adaptif, dan berkesinambungan. Mereka perlu terus belajar di luar kampus, memanfaatkan jejaring alumni, serta aktif mencari peluang melalui berbagai kanal, baik formal maupun informal. Pemerintah, sektor swasta, dan institusi pendidikan tinggi perlu bekerja lebih erat untuk menjembatani kesenjangan antara pendidikan dan dunia kerja.

Pada akhirnya, tidak ada satu formula pasti menuju sukses. Dunia kerja pasca-pandemi, diwarnai teknologi dan ketidakpastian global, menuntut adaptasi yang berkelanjutan. Namun, keberanian untuk mencoba, ketekunan dalam proses, dan kemauan untuk terus belajar tetap menjadi fondasi yang tak tergantikan. Lulusan 2025 mungkin memulai perjalanan mereka dalam masa sulit, tetapi dengan mentalitas yang tepat dan dukungan dari sesama, mereka punya potensi besar untuk tumbuh dan membawa perubahan.

Bagi setiap lulusan, cerita karier akan berbeda. Yang terpenting adalah terus bergerak maju, bahkan ketika langkahnya pelan. Karena dalam dunia kerja modern, keberhasilan bukan tentang siapa yang mulai duluan, tapi siapa yang mampu bertahan, belajar, dan berkembang di tengah perubahan yang terus bergulir.