(Business Lounge – Global News) Pada April 2025, pasar kendaraan listrik (EV) Eropa mencatatkan pergeseran besar yang berpotensi mengubah lanskap kompetisi industri otomotif global. Untuk pertama kalinya, penjualan kendaraan listrik Tesla di kawasan tersebut anjlok hingga hampir separuh dibandingkan tahun lalu, meskipun secara keseluruhan pasar EV Eropa justru tumbuh. Menurut laporan dari Automotive News Europe dan data JATO Dynamics yang dikutip oleh Reuters dan Bloomberg, penjualan Tesla di Eropa turun 49 persen secara tahunan menjadi hanya 7.165 unit, dari lebih dari 14.000 unit pada April 2024.
Data ini kontras dengan pertumbuhan pasar kendaraan listrik di Eropa sebesar 14 persen dalam periode yang sama. Beberapa analis menyebut ini bukan hanya soal permintaan, tapi juga soal persepsi, geopolitik, serta kemampuan adaptasi produsen terhadap pasar regional yang terus berubah. Dengan kemunculan produsen Asia yang makin agresif dan harga produk yang lebih kompetitif, posisi Tesla sebagai pemain dominan mulai tergoyahkan.
Penurunan tajam penjualan Tesla terjadi tidak secara tiba-tiba, melainkan telah berlangsung secara bertahap selama beberapa bulan. Menurut Business Insider, gelombang ketidakpuasan terhadap pernyataan dan sikap CEO Tesla, Elon Musk, terutama terkait dukungannya terhadap partai politik sayap kanan di Jerman, AfD (Alternative für Deutschland), turut memicu gerakan boikot terhadap merek tersebut.
Gerakan semacam ini bukan fenomena baru di Eropa, sebuah kawasan yang cenderung progresif dalam isu sosial dan politik. Banyak konsumen yang mulai mempertimbangkan aspek etika dan nilai korporasi sebelum membeli produk, terutama dalam sektor yang bernuansa perubahan iklim dan keberlanjutan. Ketika pemimpin perusahaan menjadi tokoh kontroversial secara global, konsekuensinya bisa dirasakan langsung di jalur distribusi.
AP News melaporkan bahwa di Jerman, pasar terbesar Tesla di Eropa, sentimen negatif terhadap merek semakin kuat. Kelompok aktivis lingkungan dan anti-ekstremisme melancarkan kampanye digital dan aksi protes terhadap pabrik Tesla di Grünheide, Berlin. Bahkan beberapa lembaga pembiayaan mulai berhati-hati dalam menawarkan skema kredit untuk kendaraan Tesla, karena kekhawatiran terhadap reputasi dan risiko sosial.
Analis dari JATO Dynamics menyoroti bahwa selain isu reputasi, penurunan penjualan Tesla juga disebabkan oleh ketergantungan perusahaan pada model-model utama seperti Model Y dan Model 3. Di saat banyak kompetitor memperluas lini produk dengan berbagai ukuran, segmen, dan kisaran harga, Tesla tampak stagnan. Tidak ada peluncuran model baru besar dalam dua tahun terakhir, sementara permintaan untuk model lama mulai jenuh.
Upaya Tesla untuk meremajakan Model Y belum menunjukkan hasil signifikan. Bahkan, pembaruan tersebut justru memperlambat pengiriman karena proses retooling pabrik. Di saat yang sama, produsen lain menawarkan model-model baru yang sesuai dengan preferensi konsumen Eropa: ukuran kompak, efisiensi tinggi, dan harga terjangkau.
Di pasar seperti Prancis, Italia, dan Spanyol, harga tetap menjadi faktor dominan. Tesla, dengan model dasar Model 3 yang masih berada di atas 40.000 euro, mulai kehilangan daya tarik. Sementara pesaing dari Asia dan Eropa Timur menawarkan kendaraan dengan fitur serupa di kisaran 30.000 euro atau kurang, lengkap dengan subsidi nasional yang membuatnya semakin terjangkau.
Konsumen Eropa kini semakin memperhatikan ekosistem kendaraan listrik, bukan sekadar kendaraan itu sendiri. Infrastruktur pengisian daya, jaringan servis, ketersediaan suku cadang, dan layanan purna jual menjadi bagian penting dari keputusan pembelian. Beberapa pemain baru, meskipun terlambat masuk pasar, justru mengalahkan Tesla dalam hal ini dengan menjalin kemitraan strategis bersama perusahaan energi dan jaringan lokal.
Tesla tetap mempertahankan jaringan Supercharger yang luas di Eropa, tetapi kemunculan jaringan pengisian daya pihak ketiga yang kompatibel dengan berbagai merek mulai mengurangi keunggulan eksklusif tersebut. Di beberapa kota besar seperti Amsterdam, Milan, dan Kopenhagen, pengguna kendaraan listrik tidak lagi bergantung pada satu merek untuk akses daya cepat.
Menurut EqualOcean, beberapa perusahaan bahkan menawarkan layanan pengisian berbasis langganan, diskon listrik rumah tangga untuk pengguna EV tertentu, serta paket asuransi yang lebih murah untuk kendaraan dengan peringkat keamanan tinggi. Di sinilah Tesla mulai kalah bersaing dalam membangun ekosistem yang mendukung loyalitas pelanggan jangka panjang.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Tesla mengenai penurunan penjualan di Eropa. Namun, Elon Musk dalam beberapa kesempatan publik menyampaikan bahwa perusahaannya akan fokus pada efisiensi operasional dan pengembangan layanan transportasi otonom. Dalam X Spaces terbaru yang dikutip oleh Reuters, Musk mengatakan peluncuran layanan robotaxi akan dimulai di Austin, Texas, pada Juni 2025 sebagai bagian dari strategi jangka panjang Tesla.
Di sisi lain, pasar Eropa memerlukan pendekatan berbeda. Tidak cukup hanya mengandalkan teknologi canggih dan janji masa depan. Konsumen ingin kepastian saat ini—produk terjangkau, layanan cepat, dan nilai sosial dari setiap pembelian.
Beberapa pengamat menilai bahwa Tesla perlu segera memperluas lini produknya dan merancang model khusus untuk Eropa. Jika tidak, posisinya bisa tergeser permanen. Mengingat Uni Eropa sedang memperketat kebijakan terhadap emisi kendaraan dan menggalakkan elektrifikasi, pasar ini tetap menjadi target strategis bagi semua produsen mobil global.
April 2025 mungkin menjadi titik balik dalam industri EV Eropa. Sebuah laporan dari CNEVPost menyebutkan bahwa pemain Asia kini mendominasi enam dari sepuluh posisi teratas penjualan kendaraan listrik. Bahkan beberapa merek yang sebelumnya tidak dikenal luas di Eropa mulai mengukir prestasi, menunjukkan bahwa loyalitas merek bisa bergeser cepat dalam era elektrifikasi.
Analis dari MarketWatch mencatat bahwa merek-merek tersebut tidak hanya menawarkan harga murah, tetapi juga membawa inovasi teknologi seperti sistem baterai lebih aman, layanan digital terintegrasi, dan konektivitas tinggi yang sesuai dengan gaya hidup urban modern.
Perusahaan-perusahaan Eropa sendiri, seperti Volkswagen dan Renault, juga mulai mengejar ketertinggalan. Dengan subsidi pemerintah dan regulasi lokal yang mendukung, mereka berupaya merebut kembali pangsa pasar dari pemain luar. Tetapi tantangannya kini lebih kompleks—persaingan bukan hanya antar produk, melainkan antar model bisnis dan persepsi publik.
Situasi menjadi lebih rumit ketika faktor geopolitik turut campur. Uni Eropa sedang menyelidiki kemungkinan subsidi tidak adil dari pemerintah Tiongkok kepada produsen kendaraan listrik, yang bisa mengarah pada tarif impor baru. Jika hal ini benar-benar terjadi, lanskap pasar bisa berubah lagi, dengan harga produk dari Asia naik dan membuka peluang bagi produsen lokal serta Tesla untuk bangkit kembali.
Namun demikian, keunggulan biaya dan efisiensi manufaktur dari produsen luar tetap menjadi kekuatan yang sulit disaingi. Pabrik-pabrik dengan teknologi produksi tinggi dan rantai pasok yang terkonsolidasi membuat mereka mampu menawarkan produk kompetitif bahkan setelah tarif diberlakukan.
Bagi Tesla, ini adalah peringatan sekaligus peluang. Dengan investasi dan reposisi strategi yang tepat, perusahaan ini bisa merebut kembali pangsa pasarnya. Tapi jika tidak, maka April 2025 akan tercatat sebagai awal kemunduran Tesla di kawasan yang pernah menjadi basis loyal pelanggan EV paling progresif di dunia.