(Business Lounge – Global News) Perusahaan media olahraga ESPN akhirnya mengungkapkan rencana peluncuran layanan streaming mandiri dengan harga langganan bulanan sebesar $29,99. Langkah strategis ini menjadi bagian dari adaptasi grup induknya, The Walt Disney Company, terhadap perubahan mendasar dalam perilaku konsumsi media, di mana jutaan pelanggan tradisional kabel atau satelit—yang dikenal sebagai cord-cutters—telah beralih ke platform digital dalam satu dekade terakhir.
Dalam laporan The Wall Street Journal, peluncuran layanan baru ini dijadwalkan pada tahun 2025, dan akan membawa seluruh tayangan ESPN yang sebelumnya hanya tersedia lewat TV kabel ke kanal digital. Layanan ini diberi nama sementara “ESPN”, tanpa embel-embel tambahan, dan akan menyajikan siaran langsung olahraga dari liga-liga besar seperti NFL, NBA, MLB, NHL, dan berbagai turnamen kampus NCAA. Tak hanya itu, pelanggan juga akan mendapatkan akses ke acara olahraga eksklusif, analisis langsung, serta fitur interaktif yang menyertakan personalisasi data dan pengalaman menonton yang imersif.
Langkah ini menandai pergeseran besar dari model bisnis televisi kabel yang selama puluhan tahun menjadi andalan ESPN. Dikutip dari Bloomberg, sejak 2010 jumlah pelanggan kabel di Amerika Serikat telah turun drastis dari sekitar 100 juta rumah tangga menjadi kurang dari 60 juta pada 2024. ESPN, yang selama ini menjadi kanal premium dalam bundel kabel, terkena dampaknya langsung. Meski tetap menjadi salah satu kanal paling mahal dalam paket televisi berlangganan—sekitar $9–$10 per pelanggan per bulan—turunnya basis pelanggan membuat total pendapatan dari afiliasi kabel terus menurun.
CEO Disney, Bob Iger, dalam laporan pendapatan kuartalannya menyatakan bahwa “peluncuran ESPN sebagai layanan streaming mandiri adalah langkah logis dan tak terhindarkan.” Ia menambahkan bahwa perusahaan sedang membangun “platform olahraga masa depan” yang menggabungkan kekuatan merek ESPN dengan teknologi personalisasi berbasis data milik Disney dan kemampuan infrastruktur dari mitra digital seperti BAMTech.
Namun, harga langganan sebesar $29,99 per bulan memicu perdebatan luas di kalangan analis dan pengamat industri. Dalam laporan dari Reuters, sejumlah analis menilai bahwa harga tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan layanan streaming lainnya. Sebagai perbandingan, langganan Netflix di AS dimulai dari $6,99 per bulan, Disney+ $7,99, dan Apple TV+ hanya $9,99. Bahkan untuk kategori olahraga, NFL+ mengenakan biaya hanya $6,99 per bulan, meski dengan cakupan konten yang jauh lebih terbatas.
Namun, ESPN menegaskan bahwa nilai yang ditawarkan jauh melebihi layanan hiburan biasa. “Kami bukan sekadar menawarkan konten tayangan ulang atau dokumenter, tapi siaran langsung premium dari liga-liga top dunia,” kata Jimmy Pitaro, Chairman ESPN, seperti dikutip The Wall Street Journal. Ia menambahkan bahwa fitur-fitur interaktif, statistik real-time, kemampuan split-screen, dan personalisasi berbasis kecerdasan buatan akan membuat pengalaman menonton tak tertandingi di pasar.
Salah satu fitur andalan yang sedang dikembangkan adalah integrasi dengan taruhan olahraga legal. ESPN telah menjalin kemitraan dengan Penn Entertainment untuk meluncurkan ESPN Bet, sebuah aplikasi taruhan olahraga yang dirancang untuk saling terhubung dengan ekosistem streaming mereka. Meskipun Disney memiliki sejarah panjang menghindari keterlibatan langsung dalam perjudian, perubahan pasar dan tekanan investor mendorong perusahaan untuk membuka peluang baru di bidang ini. Menurut Bloomberg Intelligence, pasar taruhan olahraga online di AS diperkirakan mencapai lebih dari $40 miliar per tahun dalam satu dekade ke depan.
Langkah ESPN ini juga menjadi ujian terhadap daya tahan merek media tradisional dalam era digital. Saat Netflix, Amazon, dan Apple menggelontorkan miliaran dolar untuk hak siar olahraga, ESPN harus membuktikan bahwa mereka tetap relevan di tengah banjir konten baru. ESPN juga harus bersaing dengan YouTube TV dan layanan kabel streaming lainnya seperti Hulu + Live TV, yang sudah menyajikan siaran langsung ESPN dalam bundel mereka.
Yang membuat kompetisi semakin rumit adalah fakta bahwa ESPN tidak akan menarik diri dari distribusi kabel dalam waktu dekat. Dengan kata lain, ESPN akan menjalankan dua model distribusi sekaligus: tetap menjual lisensi ke perusahaan kabel sambil menawarkan versi streaming mandiri. Model ini, meskipun berisiko menimbulkan kanibalisasi, dianggap perlu demi mempertahankan dua sumber pendapatan sekaligus: fee dari perusahaan kabel dan langganan langsung dari konsumen.
Namun, pendekatan ganda ini tak lepas dari tantangan. Menurut para analis yang dikutip oleh Reuters, perusahaan kabel mungkin akan menekan biaya lisensi jika merasa bahwa ESPN terlalu agresif mempromosikan produk langsung ke konsumen. Selain itu, kesulitan dalam menjaga eksklusivitas konten—karena tayangan yang sama tersedia di dua kanal distribusi—berpotensi membingungkan pelanggan dan memperlemah daya tarik eksklusif layanan streaming.
Dari sisi finansial, ESPN juga menghadapi tekanan berat. Menurut laporan tahunan Disney, pendapatan dari jaringan linear—termasuk ESPN—turun 8% pada tahun fiskal terakhir. Sementara itu, divisi streaming Disney (termasuk Disney+, Hulu, dan ESPN+) masih mencatatkan kerugian operasional meskipun pertumbuhan pelanggannya positif. Dengan peluncuran layanan baru ini, Disney berharap bisa mempercepat peralihan ke profitabilitas melalui skala ekonomi dan peningkatan ARPU (Average Revenue Per User).
Langkah strategis ini juga memperlihatkan pergeseran filosofi Disney terhadap portofolio medianya. Di bawah kepemimpinan Bob Iger, Disney sempat menempatkan konten keluarga dan animasi sebagai tulang punggung. Namun, realitas pasar menunjukkan bahwa olahraga tetap menjadi magnet terbesar untuk menarik dan mempertahankan pelanggan dalam jangka panjang. Sebuah survei oleh Morning Consult yang dikutip dalam The Wall Street Journal menyebut bahwa 42% pelanggan streaming menganggap tayangan olahraga langsung sebagai alasan utama berlangganan sebuah platform.
Di sisi lain, ESPN juga mendapat tekanan dari para pemilik liga dan asosiasi atletik untuk meningkatkan monetisasi. Banyak pemilik klub dan penyelenggara liga ingin menjangkau generasi muda yang tidak lagi menonton TV tradisional. Peluncuran layanan streaming ini dinilai sebagai langkah penting untuk menjangkau segmen tersebut secara langsung. Seperti disampaikan oleh Komisaris NBA Adam Silver dalam konferensi media baru-baru ini, “kami menyambut baik inisiatif ESPN karena itu membuka akses lebih luas kepada penggemar muda yang lebih digital-native.”
Dalam konteks global, peluncuran ESPN streaming juga bisa menjadi model ekspor. Disney saat ini sedang mempertimbangkan ekspansi ke pasar internasional melalui model serupa, dengan menyesuaikan hak siar lokal dan preferensi olahraga regional. Misalnya, di Eropa mereka bisa menyasar tayangan sepak bola dan F1, sementara di Amerika Latin fokus bisa diarahkan pada sepak bola lokal dan bisbol.
Namun, risiko tak bisa dihindari. Biaya hak siar terus meroket dan perusahaan harus memastikan bahwa langganan sebesar $29,99 benar-benar bisa ditoleransi pasar. Jika tidak, ESPN bisa mengalami tekanan keuangan yang lebih besar. Analis dari MoffettNathanson menyebut bahwa “ini adalah pertaruhan yang besar—jika berhasil, ESPN akan menetapkan standar baru industri, tetapi jika gagal, kerugiannya bisa sangat besar.”
Sebagian pelaku pasar optimistis. Saham Disney naik hampir 3% setelah pengumuman tersebut, menunjukkan keyakinan investor bahwa strategi ini bisa menjadi katalis pertumbuhan baru. Namun, banyak yang masih menunggu detail lebih lanjut—terutama soal jangkauan konten, ketersediaan perangkat, dan apakah akan ada versi bundling dengan layanan lain milik Disney.
Satu hal yang pasti, lanskap media olahraga sedang mengalami transformasi besar. ESPN, sebagai ikon media olahraga selama puluhan tahun, kini mencoba membuktikan bahwa ia bisa tetap menjadi pemain dominan dalam ekosistem yang didikte oleh pelanggan, bukan oleh operator kabel. Apakah $29,99 per bulan terlalu mahal atau terlalu murah akan ditentukan oleh respons pasar. Tetapi arah industrinya sudah jelas: masa depan media olahraga adalah streaming—dan ESPN tidak ingin tertinggal dalam perlombaan ini.