(Business Lounge – Global News) Ketika tekanan ekonomi global terus berlanjut, LG Electronics berusaha memosisikan diri di tengah ketidakpastian dengan tetap mempertahankan pertumbuhan pendapatan dan menekankan inisiatif bisnis baru. Dalam laporan keuangan awal kuartal pertama tahun ini, LG Electronics memperkirakan penurunan laba operasional sebesar 5,7 persen dari tahun sebelumnya, menurut laporan yang disampaikan oleh The Wall Street Journal. Meski angka ini tidak mengejutkan pasar, hasil tersebut mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh industri elektronik konsumen secara global.
Dalam estimasi kuartalan awalnya, LG menyebutkan laba operasional sekitar 1,3 triliun won (sekitar 960 juta dolar AS), sedikit lebih rendah dari hasil pada periode yang sama tahun lalu. Namun, penurunan ini terjadi seiring dengan tetap stabilnya pendapatan yang mencapai 20,4 triliun won, sebagaimana dilaporkan oleh Bloomberg. Dengan tekanan dari melemahnya permintaan konsumen di sejumlah pasar utama dan kenaikan biaya produksi, perusahaan asal Korea Selatan ini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saingnya.
Meskipun demikian, strategi LG tidak hanya berfokus pada efisiensi jangka pendek. Perusahaan ini dengan mantap mendorong transformasi bisnisnya, mengandalkan berbagai lini yang dianggap lebih tahan terhadap tekanan ekonomi global. Salah satu pendekatan utama LG adalah memperluas layanan berbasis langganan di sektor peralatan rumah tangga. Layanan ini mencakup kulkas, mesin cuci, dan perangkat lainnya yang kini dapat digunakan konsumen dengan model berlangganan alih-alih pembelian langsung. Strategi ini, menurut Reuters, merupakan bagian dari upaya LG dalam mengubah model bisnis konvensional menjadi ekosistem berkelanjutan berbasis layanan.
Inisiatif ini juga ditopang oleh perluasan bisnis di sektor pemanas, ventilasi, dan pendingin udara (HVAC) yang ditujukan untuk klien korporat. Dalam wawancaranya bersama CNBC, seorang analis pasar dari Daishin Securities mengatakan bahwa sektor HVAC cenderung lebih stabil karena permintaannya tidak semata-mata bergantung pada fluktuasi pasar konsumen ritel, melainkan juga dari proyek konstruksi dan gedung komersial yang memiliki siklus jangka panjang. LG menggarap peluang ini sebagai cara untuk mengimbangi fluktuasi pendapatan dari pasar elektronik konsumen.
Transformasi LG menuju perusahaan berbasis solusi juga tercermin dari langkah mereka dalam teknologi otomotif. Unit bisnis Vehicle Component Solutions (VS) telah menunjukkan kinerja positif dalam beberapa kuartal terakhir, dengan meningkatnya permintaan akan sistem infotainment dan komponen elektronik untuk kendaraan listrik. The Korea Economic Daily mencatat bahwa unit ini menyumbang lebih dari 20 persen total pendapatan LG pada tahun lalu, dan diperkirakan akan terus tumbuh seiring peningkatan adopsi kendaraan listrik secara global.
Tak kalah penting, LG juga memperkuat investasinya dalam bidang teknologi masa depan. Melalui anak usaha LG Innotek, perusahaan memperluas pengembangan komponen untuk kamera, radar, dan sensor yang digunakan dalam otomasi dan kendaraan pintar. Upaya ini sejalan dengan arah global menuju digitalisasi sektor otomotif, serta memperluas eksistensi LG di luar kategori barang elektronik rumah tangga tradisional.
Namun, seluruh upaya tersebut dilakukan di bawah tekanan geopolitik dan ekonomi makro yang signifikan. Lonjakan tarif impor, gangguan rantai pasok, dan ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok berdampak terhadap seluruh industri elektronik global. LG, seperti juga kompetitor lainnya, harus menyesuaikan strategi distribusi dan logistiknya. Nikkei Asia melaporkan bahwa LG telah mulai memindahkan sebagian produksi komponennya ke Asia Tenggara untuk menghindari dampak tarif yang lebih tinggi dan mengamankan rantai pasok yang lebih fleksibel.
Lebih jauh, LG menyadari pentingnya membangun citra sebagai perusahaan inovatif dan berkelanjutan. Dalam laporan tahunan yang dirilis awal tahun ini, perusahaan menyatakan komitmennya untuk mencapai netralitas karbon di semua fasilitas produksinya pada tahun 2030. Langkah ini mencakup peningkatan penggunaan energi terbarukan dan optimasi proses produksi yang hemat energi. The Financial Times mencatat bahwa upaya ini tak hanya menarik bagi investor institusional yang mengedepankan ESG, tetapi juga memperkuat daya tarik LG di mata konsumen global yang semakin sadar lingkungan.
Dari sisi finansial, meskipun laba operasional menurun, struktur biaya LG menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Upaya pengendalian biaya, termasuk digitalisasi proses manufaktur dan penggunaan AI dalam logistik, telah membantu perusahaan menekan kerugian dari fluktuasi harga bahan baku. Dalam analisisnya, Bloomberg Intelligence menyatakan bahwa inisiatif ini akan berdampak positif dalam jangka menengah, terutama bila LG dapat memperkuat sinergi antara lini bisnisnya yang beragam.
Namun, para analis juga menggarisbawahi bahwa tantangan utama LG adalah mempertahankan relevansi mereknya di segmen konsumen muda. Perangkat elektronik rumah tangga kini semakin didominasi oleh merek dari Tiongkok dan produsen lokal di berbagai pasar Asia Tenggara. Di sisi lain, LG Electronics harus bersaing dalam hal harga, desain, serta layanan purna jual. Oleh karena itu, LG mulai menggandeng mitra lokal untuk memperluas saluran distribusi dan melakukan kampanye pemasaran digital yang menyasar generasi Z dan milenial, sebagaimana dilaporkan oleh TechCrunch.
Langkah-langkah ini, meskipun masih dalam tahap awal, menunjukkan arah baru LG dalam menata ulang identitas perusahaan. Transformasi dari manufaktur ke layanan teknologi merupakan strategi jangka panjang yang tidak hanya mengandalkan penjualan unit, tetapi membangun hubungan berkelanjutan dengan pelanggan. Dalam penjelasannya kepada investor, CEO LG Electronics mengatakan bahwa masa depan perusahaan tidak lagi bergantung pada kuantitas produk yang terjual, tetapi pada kualitas interaksi yang terjalin antara LG dan konsumennya selama siklus hidup produk.
Dengan lingkungan makroekonomi yang masih berfluktuasi, termasuk tekanan suku bunga global dan ketidakpastian pertumbuhan ekonomi di Eropa dan Amerika, LG dituntut untuk tetap gesit. Namun, strategi yang berorientasi pada diversifikasi bisnis, pemanfaatan teknologi, dan ekspansi ke layanan jangka panjang memberi sinyal bahwa perusahaan ini tidak hanya bertahan, tetapi berusaha berkembang dalam lanskap yang penuh tantangan.
Sebagaimana dicatat oleh The Economist, perusahaan-perusahaan teknologi yang mampu beradaptasi dan mengubah model bisnisnya adalah yang akan bertahan dalam era disrupsi global saat ini. Dalam konteks itu, LG Electronics tampak berusaha keras memosisikan dirinya di jalur tersebut — menjelma dari sekadar produsen barang elektronik menjadi penyedia solusi terintegrasi yang tahan krisis.

