(Business Lounge Journal – News and Insight) Sebagaimana dilansir oleh WSJ, Levi Strauss & Co memiliki kemungkinan untuk berkemas dan meninggalkan Tiongkok. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, Levi Strauss & Co mulai memproduksi celana jeans ikonik di Tiongkok dengan memanfaatkan tenaga kerja yang bersedia untuk menjahit dengan upah beberapa sen per jam, namun tenaga kerja murah ini nampaknya telah semakin sulit didapat.
Selama dekade mendatang, kekurangan tenaga kerja akan memaksa Levi dan sejumlah merek barat lainnya untuk kembali menciptakan operasional di Tiongkok atau berkemas dan pergi. Perubahan ini akan menandai babak baru dalam sejarah globalisasi, yaitu saat otomatisasi menjadi raja dan kedekatan dengan pasar merupakan hal yang sangat penting juga kehidupan para pekerja serta konsumen di seluruh dunia.
Gejolak perubahan ini telah terlihat. Seperti dilansir oleh WSJ, dalam sebuah pabrik pakaian di Zhongshan, Tiongkok, sebuah kota yang merupakan kawasan industri di seberang Sungai Pearl dari Hong Kong, laser telah menggantikan puluhan pekerja yang menggosok celana jeans biru Levi dengan amplas sehingga menjadi lebih stylish. Mesin jahit otomatis telah mengurangi jumlah penjahit yang diperlukan untuk menjahit desain busur ke saku belakang. Printer digital membuat pola rumit pada jeans yang digunakan pekerja yang biasanya dilakukan dengan layar mesh.
“Buruh semakin mahal dan teknologi semakin murah,” demikian dikatalan Andrew Lo, chief executive dari Crystal Group, salah satu pemasok utama Levi di Tiongkok, eperti dilansir oleh WSJ.
Sementara penurunan ekonomi Tiongkok menimbulkan beberapa krisis tenaga kerja, pabrik jins Cystal ini masih membayar 20% di atas harga pasar dan masih juga menyelenggarakan kelas memasak dan kontes menyanyi untuk menjaga pekerja tetap bahagia.
Untuk menanggulangi krisis tenaga kerja pada masa mendatang, pemerintah Tiongkok memang sudah melonggarkan kebijakan memiliki satu anak. Namun hal ini masih dipandang belum akan memberikan dampak dalam waktu dekat. Khawatir bahwa Tiongkok akan melihat eksodus produsen, Presiden Xi Jinping pun pada tahun lalu mencanangkan “revolusi robot industri” di Tiongkok, yang telah menjadi pasar terbesar di dunia untuk otomatisasi.
Melihat ke depan untuk tahun 2050, masa depan konsumen di seluruh dunia nampaknya bercampur. Produksi berbiaya rendah di Tiongkok telah membantu menekan inflasi di AS, Eropa, dan Tionkok sendiri. Ini adalah pertanyaan terbuka apakah otomatisasi dapat menekan biaya seefektif yang dilakukan tenaga kerja Tiongkok. Tapi konsumen harus melihat ke depan untuk lebih banyak pilihan, pengiriman lebih cepat, dan tidak membahayakan lingkungan.
Beberapa ahli teknologi bahkan berpikir bahwa penemuan seperti 3-D printing akan memiliki dampak besar pada tahun 2050. Dalam dunia seperti itu, printer bisa menghasilkan pakaian, makanan, elektronik, dan barang lainnya yang dipesan secara online dari pilihan hampir tak terbatas, dengan jauh lebih sedikit pekerja yang terlibat dalam produksi.
“Pada tahun 2050, Anda berpotensi memiliki printer 3-D di rumah yang dapat menghasilkan semua kain yang Anda inginkan,” demikian dikatakan Roger Lee, kepala eksekutif Hong Kong TAL Group, yang membuat 1 dari setiap 6 kemeja dijual di Amerika Serikat untuk merek dari Banana Republic sampai Brooks Brothers. “Itu akan membuat kami ketinggalan zaman.”
Akhir tenaga kerjayang sangat murah di Tiongkok adalah memberikan dorongan untuk kemajuan dalam teknologi, yang akan membuat Tiongkok tidak lagi menjadi pusat manufaktur global. Tetapi mengubah selera konsumen sehingga teknologi akan mengurangi peran Tiongkok juga.
Permintaan konsumen tumbuh disesuaikan dnegan barang, apakah mereka obat-obatan yang disesuaikan dengan gen individu atau kerajinan bir disesuaikan dengan selera masing-masing. Hal ini membuat jarak dari pasar akan semakin merugikan, terutama pemesanan barang dalam jumlah besar dari Tiongkok sehingga harus menunggu satu bulan untuk pengiriman dengan kapal. Pabrik akan semakin lebih tersebar, sehingga lebih dekat dengan pelanggan, di mana pun mereka tinggal.
“Logistik, pajak, dan pemasaran dapat menjadi lebih mahal dibandingkan dengan biaya tenaga kerja,” demikian dikatakan Gary Hufbauer, seorang ahli perdagangan di Peterson Institute for International Economics. “Semua itu akan membuat Tiongkok menjadi kurang menarik”, demikian seperti dilansir oleh WSJ.
citra/VMN/BL/Journalist
Editor: Ruth Berliana
Image : Business Lounge Journal