Perdebatan SDM yang Dapat Bersaing di Manca Negara

(Business Lounge – News & Insight) Memperbincangkan masalah Sumber Daya Manusia (SDM) adalah suatu hal yang sangat menarik dan tidak akan ada habisnya. Demikian juga yang terjadi pada debat Cawapres pada Minggu (29/6). Kedua cawapres memiliki pendapat bahwa SDM bangsa kita memang sangat perlu untuk ditangani dengan serius, mengingat SDM yang unggul akan menghasilkan product yang unggul juga dan meningkatkan daya saing bangsa kita secara global.

Dalam debat kali ini Hatta Rajasa mengetengahkan bahwa kualitas Sumber Daya Manusia akan sangat bergantung kepada dua faktor yaitu pendidikan dan kesehatan. Kedua faktor ini jugalah yang akan mendorong kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Sedangkan JK melemparkan visi revolusi mental yang harus segera dilakukan. Menunggu 20 tahun untuk membuat suatu revolusi merupakan waktu yang sangat panjang sedangkan SDM bangsa ini membutuhkan penanganan dengan segera. Sehingga JK menggagas bahwa pengembangan budi pekerti dapat dilakukan di semua mata pelajaran. Misalnya saja dengan mengganti cerita si Kancil yang sering menipu pada pelajaran Bahasa Indonesia dengan kisah heroik yang ada pada bangsa kita.

Debat berlangsung dengan cukup menarik, kedua kubu berusaha untuk menjelaskan program-programnya untuk memenangkan suara pemilih.

Hal lainnya yang digarisbawahi oleh JK adalah perlunya melakukan pemetaan pendidikan bagi bangsa ini untuk mengidentifikasi daerah-daerah mana yang kurang dan perlu dibantu. Dalam hal ini distribusi guru haruslah diperhatikan.

Suatu kenyataan yang diangkat Hatta adalah dari 150 juta angkatan kerja kita, 45% berlatar belakang tamatan SD. Hanya 8 persen yang tamatan Perguruan tinggi. Apakah kesadaran untuk sekolah masih sangat rendah bagi rakyat Indonesia?

Pendidikan Sebagai Pokok Permasalahan

Kedua kubu dapat saja berdebat ini dan itu, namun masalah pendidikan di Indonesia memang masih menjadi masalah bangsa ini. Bayangkan saja angka yang disodorkan Hatta, 45% tenaga kerja adalah lulusan SD, maka sudah dapat dipastikan tidak akan dapat bersaing secara internasional. Mereka biasanya hanyalah pekerja kasar.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik maka indeks APS (Angka Partisipasi Sekolah) untuk usia 7-12 tahun di Papua mencapai 75,51 dibandingkan dengan APS DKI Jakarta yang mencapai 99,35. Atau APS untuk usia 16-18 tahun di Kep Bangka Belitung sebesar 55,23 dibandingkan dengan APS untuk range usia yang sama di DI Yogyakarta yang mencapai 81,5. Jelas memang terdapat perbedaan yang cukup significant antara propinsi yang satu dengan yang lain.

Pemerataan jelas sangat dibutuhkan dalam pendidikan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas.

Sekilas Mengenai Budi Pekerti

Mungkin angkatan-angkatan senior tidak asing lagi dengan istilah Budi Pekerti, sebab mata pelajaran ini pernah menjadi kurikulum sekolah. Namun sekarang, pelajaran ini tidak lagi berdiri sendiri. Walaupun mungkin bagi beberapa sekolah, bisa saja pelajaran ini masih diadakan.

Semakin hari maka pendidikan Budi Pekerti dirasa sangat dibutuhkan. Bahkan sejak usia dini. Namun sering kali hal ini tidak diperhitungkan dengan baik. Katakanlah pada tahun 80-an, menurut para senior kita, jika ada pelajar yang sering kali berulah maka akan berurusana dengan guru BP dan bila tidak mempan juga maka tidak jarang diberikan skorsing bahkan bisa dikeluarkan. Ini jelas berdampak kepada para pelajar yang lebih menghargai lembaga pendidikan dengan semua peran yang terdapat di dalamnya.

Namun hal ini semakin langka ditemui pada lembaga pendidikan saat ini. Khusunya pada kota-kota besar. Banyaknya lembaga pendidikan yang tidak berani bersikap tegas sebab memperlakukan anak didik seperti seorang “client”. Sehingga tindakan tegas bisa saja tidak diambil demi tidak kehilangan seorang “client”.

Budi Pekerti tetaplah sesuatu yang sangat penting untuk membentuk akhlak SDM kita, hanya perlu dikemas bagaimana penyajiannya.

Uthe/Journalist/VMN/BL

Editor: Ruth Berliana

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x