(Business Lounge – Human Resources) Di hari liburnya dari meracik latte dan Frappuccino, Bridget Baron datang kembali ke gerai Starbucks tempat ia bekerja sebagai barista. Bukan untuk bekerja seperti biasa, tetapi untuk melakukan sesuatu yang biasanya kurang disukai perusahaan: membuat konten TikTok tentang pekerjaannya.
Namun kali ini berbeda. Perempuan berusia 21 tahun itu menggunakan tripod resmi dari perusahaan dan mengenakan apron berlogo Starbucks. Video yang ia rekam—menampilkan dirinya memutar whipped cream di atas minuman edisi liburan—ditonton lebih dari 800.000 kali dan memberi Starbucks dorongan pemasaran viral secara instan.
Karyawan yang membagikan kehidupan kerja mereka di media sosial sebenarnya bukan hal baru. Biasanya, konten semacam itu bersifat parodi tentang ruwetnya pelayanan pelanggan atau budaya korporat, dan banyak karyawan melakukannya tanpa izin atau tanpa menyebutkan tempat mereka bekerja.
Sekarang, alih-alih melarang, perusahaan-perusahaan mulai dari Starbucks hingga Delta Air Lines justru mendukungnya—dengan menjadikan pegawai mereka sebagai influencer untuk merek sendiri. Mereka bahkan ingin ikut campur dalam pembuatan kontennya.
Strategi ini memberi peluang bagi perusahaan untuk menampilkan lingkungan kerja yang menyenangkan sekaligus memperoleh promosi ala akar rumput dari karyawan muda yang sudah akrab dengan dunia digital. Bagi para pekerja, ini menjadi kesempatan menyalurkan kemampuan membuat konten untuk mendapatkan visibilitas lebih besar dan akses pada keuntungan seperti perjalanan dinas atau pelatihan pengembangan karier.
Bahkan dapat menjadi poin penting dalam portofolio profesional.
Seorang mahasiswa mengatakan ia tumbuh bersama media sosial dan saya suka membuat konten. Mahasiswa ini bernama Baron, kuliah ilmu komputer di Charlotte, Carolina Utara yang bercita-cita menjadi desainer pengalaman pengguna. Belakangan ia menambahkan “content creator” pada pengalaman kerjanya di LinkedIn. Setelah tiga tahun bekerja di Starbucks, katanya, “Saya pikir ini titik temu yang sempurna antara dua hal yang saya sukai.”
Baron merupakan satu dari 53 barista yang terpilih sejak 2024 dalam program Green Apron Creators—inisiatif Starbucks yang mendorong karyawan untuk posting video di tempat kerja. Perusahaan sesekali mengirimkan ide konten, misalnya untuk mempromosikan kembalinya sirup Apple Crisp. Para creator ini dibayar per unggahan, meski perusahaan tak menyebutkan jumlahnya.
Seperti program serupa di Ulta Beauty dan kantor pusat Hugo Boss di Jerman, para pekerja ini biasanya bukan bintang media sosial terkenal. Baron sendiri memiliki kurang dari 1.000 pengikut di TikTok.
Meski begitu, Starbucks tetap melarang barista memposting saat sedang shift, mengenakan apron, atau berada di area barista—kecuali telah mendapat izin resmi dan dikoordinasikan dengan tim pemasaran atau komunikasi perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada barista yang mengaku diberhentikan setelah memposting pesanan pelanggan yang rumit. Ada pula yang dipecat setelah keluhannya tentang shift kerja menjadi viral. Starbucks menolak mengomentari kasus spesifik, namun menyatakan selalu mempertimbangkan riwayat pelanggaran dan kesesuaiannya dengan nilai perusahaan sebelum memberi sanksi.
Di sejumlah kasus, menggandeng karyawan sebagai influencer memang menjadi bagian dari strategi bisnis. Portillo’s, jaringan restoran yang sedang memperluas jangkauan nasionalnya, ingin meningkatkan kesadaran merek di luar wilayah Chicago sembari menarik lebih banyak tenaga kerja, ujar Jill Waite, Chief People Officer perusahaan itu.
Tahun ini, Portillo’s memilih 15 karyawan untuk program kreator bernama Maxwell Street Mavens—diambil dari salah satu menu populer mereka, Maxwell Street Polish sausage—berdasarkan konten yang mereka unggah di LinkedIn dan kanal internal.
Zach Hawkins, manajer Portillo’s di Chandler, Arizona, adalah salah satunya. Meski merasa kurang nyaman di depan kamera, pria 33 tahun itu melihat program tersebut sebagai peluang untuk mengasah dirinya secara pribadi maupun profesional.
Belakangan, Hawkins dan rekan kreator lainnya diminta membuat video seputar National Italian Beef Week dan National Hot Dog Week. Ia lalu mengenakan kaus bergambar hot dog, sementara temannya berdandan sebagai hot dog. Karena penggemar hot dog khas Chicago dikenal anti-ketchup, mereka membuat adegan sang rekan menepis botol saus tomat dari tangan Hawkins hingga berantakan.
Dengan proses editing, produksi video memakan waktu sekitar 45 menit, lalu dikirim ke perusahaan untuk disetujui sebelum dipublikasikan.
Dengan begitu banyaknya influencer di luar sana, saya pikir ini langkah bagus untuk mengikuti perkembangan zaman dan memanfaatkan sumber daya internal, ujar Hawkins. Portillo’s belum memberi kompensasi khusus untuk kreator, namun sedang mempertimbangkan insentif seperti merchandise perusahaan, kata Waite.
Menurut analis tempat kerja dan penasihat korporasi, Josh Bersin, influencer internal hanya akan berhasil jika terasa autentik. Bila kontennya terdengar kaku dan tidak meyakinkan, hasilnya nihil.
Namun jika karyawannya karismatik, katanya, mereka bisa mendadak viral.
Contohnya adalah Deltalina—julukan untuk pramugari berambut merah yang terkenal lewat gestur wagging finger dalam video keselamatan penerbangan Delta sejak 2008. Popularitasnya terus berlanjut hingga ia kembali tampil dalam video keselamatan terbaru tahun ini bersama para pegawai Delta dalam seragam dari berbagai era.
Pada proyek baru yang tengah diuji, Delta memilih 15 karyawan garda depan—pilot, pramugari, hingga agen layanan pelanggan—dan mengundang mereka ke kantor pusat di Atlanta untuk orientasi. Di sana, mereka mendapat arahan mengenai perbedaan interaksi singkat dalam pesawat dan konten yang akan selamanya tersimpan di internet, jelas Tim Mapes, Chief Communications Officer Delta. Beberapa di antara mereka memang sudah memiliki pengikut sendiri di media sosial.
Termasuk Pamela Kucera, 64 tahun, yang mulai membagikan tips perjalanan di TikTok dan Instagram tiga tahun lalu setelah didorong oleh putrinya. Awalnya, Kucera merasa tak ada yang mau mendengar cerita dari “pramugari tua.” Namun ia justru mendapat ribuan pengikut berkat saran-saran untuk pramugari baru serta penjelasan mengenai sistem senioritas dan penjadwalan kru.
Kini, sebagai influencer resmi Delta, ia rutin mempelajari tutorial editing video dengan musik, membuat voice-over, dan menambahkan caption. Ia memperkirakan menghabiskan lima jam per minggu untuk membuat konten—mewawancarai rekan pramugari atau berbagi kenangan terbaik bersama penumpang.
Itu semua memberi gambaran yang sangat baik tentang siapa kami di Delta,ujarnya.

