Selfie, Appreciation of the Millennial (Enin Supriyanto)

Enin Supriyanto

(Business Lounge Journal – Interview Session)

Ber-selfie di galeri atau museum memang masih menjadi pro dan kontra. Sebagian orang merasa maklum jika harus berada satu galeri dengan mereka yang sibuk ber-selfie, tetapi sebagian lainnya mungkin akan memilih untuk meninggalkan ruangan. Para penikmat seni pada umumnya meluangkan waktu pergi ke galeri memang untuk menikmati karya seni, tetapi tidak dengan para pencinta selfie.

Saya mungkin termasuk pada golongan yang akan merasa terganggu dengan para pencinta selfie. Akan sulit bagi saya dapat menikmati karya seni, sementara di sekitar saya para pengunjung muda akan berseliweran, bersenda gurau, saling meledek, sambil memainkan gadget mereka untuk mengabadikan aksi mereka yang tidak jarang terlihat ‘konyol’. Suasana galeri pun mendadak menjadi riuh rendah.

Dalam suatu perbincangan dengan pelukis RB. Ali saat pameran tunggalnya di Galeri Nasional, ia menceritakan bagaimana dalam sebuah pameran, ia dapat saja beberapa kali melakukan ‘retouch’ oleh karena ulah para pengunjung yang menyentuh, memegang, bahkan menyender pada karya seninya. Mengeluh? Tidak. Sebab mereka tahu bahwa kadangkala itu adalah sebuah bentuk penghargaan atas karya seni mereka. Dalam kesempatan itu, RB. Ali pun mengatakan bahwa kebanyakan pengunjung memang datang untuk dapat meng-capture keindahan seni bersama dengan diri mereka. Bahkan ada yang datang dengan gambar pada gadget yang diperoleh dari medsos rekannya dan langsung menanyakan lokasi lukisan tersebut untuk membuat gambar tandingan.

Millennial Selfie Culture = sebuah proses apresiasi sederhana  

Kita sudah pernah membahas topik ini sebelumnya, bahwa bagi para pelaku seni, budaya selfie yang kebanyakan dimiliki oleh para millennial ini, bukanlah suatu masalah besar.

Enin Supriyanto, seorang kurator anak bangsa juga berpendapat bahwa perkembangan budaya selfie yang ada pada para millennial tidak seluruhnya negatif.

“Bahwa mereka bersedia menyediakan waktu, energi, dan segala macam, mungkin juga uang untuk mendatangi galeri secara khusus untuk melihat acara seni rupa, itu sudah sesuatu yang positif. Mungkin mayoritas ber-selfie tanpa menyadari apa yang dia lakukan, tanpa proses apresiasi sesungguhnya terhadap karya itu. Tetapi paling tidak, bayangan saya, kalaupun saya mau selfie jangan-jangan saya sudah mulai melakukan seleksi. Jadi ada proses apresiasi sederhana. karena saya tidak melakukannya di sembarang karya. Saya mau melakukannya di depan karya tertentu. Ada semacam kesadaran buat saya bahwa karya ini ok. Itu kan semacam bentuk bibit untuk mengapresiasi juga. Jadi saya tidak melihatnya sebagai sepenuhnya negatif”, demikian diucapkannya.

Tentu saja saya tidak setuju dengan rezim pemerintah yang melakukan politik sensor, tetapi di sisi lain, kita juga jangan mengabaikan the potential creative power yang bisa mencari jalan untuk mengatasi persoalan itu.

Art vs Government Rule

Sering kali seni menjadi sebuah cara untuk mengungkapkan pendapat yang terkadang menjadi sarana melontarkan kritikan atau sebuah protes. Pada beberapa Negara, hal ini dianggap sebagai sebuah pelanggaran sehingga dapat dikenai sanksi. Untuk itu politik sensor pun diberlakukan.

Enin, adalah salah seorang yang tidak setuju dengan politik sensor. Namun walaupun hal itu berlaku, bagi Enin, seni tidak akan pernah dapat dihentikan.

“Tentu saja kita tidak berharap negara menjalankan politik sensor yang membatasi orang mengungkapkan pikiran dalam bentuk apa pun. Tetapi di sisi lain, kalau pun ada kenyataan seperti itu, tidak selalu kenyataan itu bisa dijadikan alasan bagi seorang yang kreatif untuk kemudian mengatakan bahwa ia tidak bisa berkarya karena telah terkekang”, demikian diungkapkannya.

Sebagai contoh, ia menyebutkan seorang pembuat film asal Iran, Jafar Panahi yang sempat ditahan pemerintah Iran oleh karena film yang dibuatnya. Namun setelah ia dibebaskan, pengadilan memberikan keputusan bahwa ia tidak boleh memegang kamera. Ya, dia memang tidak memegang kamera, tetapi kondisi tersebut tidak dapat menghalanginya untuk tetap membuat film.

Dengan memanfaatkan seorang cameraman, ia membuat film tentang dirinya sendiri saat kasusnya sedang ada dalam proses pemerintah. Ia pun memberikan judul unik pada filmnya “This is not a film”.

“Jadi kita sedang berbicara dua hal yang berbeda tentu saja saya tidak setuju dengan rezim pemerintah yang melakukan politik sensor, tetapi di sisi lain, kita juga jangan mengabaikan the potential creative power yang bisa mencari jalan untuk mengatasi persoalan itu. Jadi jangan selalu dijadikan alasan bahwa Anda tidak dapat membuat ini dan itu karena alasan ini dan itu. Ada banyak contoh yang dapat kita cari seperti seniman-seniman besar yang muncul dari kondisi seperti itu,” demikian penjelasan Enin bahwa tidak ada kondisi apa pun yang dapat menghalangi siapa pun untuk berkarya.

Ruth Berliana/VMN/BLJ