Beyond Traditional Boundaries

Cover_SpecialReport_Conclave

(Business Lounge – Special Report)

Konsep kantor memang telah mengalami pergeseran, tidak lagi menjadi sebuah cubicle yang sangat constraining dan dingin. Para millennials telah mendobrak arti sebuah kantor yang sebetulnya dan mengaplikasikannya pada co working space yang hadir seperti di Conclave, Jakarta. Dalam sebuah perbincangan Business Lounge Journal dengan Marshall Utoyo, pendiri Conclave maka diperoleh sebuah upaya menghadirkan konsep kantor yang baru melintasi generasi. Conclave berhasilkan menggabungkan konsep gym model membership dengan konsep kantor itu sendiri dan menghasilkan sebuah konsep co working space yang telah menggeser sebuah conventional offices.

BL: Business Lounge

MU: Marshall Utoyo

BL: Mengapa Konsep ini diperkenalkan?

MU: Jadi 3 sampai 4 tahun lalu conventional offices di Indonesia seperti cubicle, very constraining, dingin. Saya juga pernah di office seperti itu, sehingga saya ingin menghadirkan suasana yang lebih baik. Bukan ceria seperti tidak serius, tetapi situasi yang tidak terlalu constraining seperti prison. Itulah yang ingin kami capai dengan desain seperti ini (Conclave). Kami ingin membuat kantor yang berbeda dengan standarnya.

BL: Fasilitas apa saja yang disediakan di sini?

MU: Di co working space seperti ini orang bisa pergi seperti pergi ke gym, jadi bisa ‘keteng’-an (satuan), seperti konsep warnet juga. Kami provide internet, akses 24 jam, shower jika mau, beberapa personal computer jika dibutuhkan, dan tentu juga workspace.

BL: Kebanyakan dari mereka yang datang berasal dari industri apa?

MU: Paling banyak dari industri kreatif. Beberapa dari mereka berasal dari agency, dari modelling agency, juga e-commerce, tetapi tidak menutup kemungkinan ada banker juga di sini. Beberapa dari mereka juga sedang melakukan research di sini, dan ada juga beberapa venture capital yang usianya 20-30 tahun. Tetapi ada banyak juga anak-anak yang sedang mengerjakan thesis terakhirnya di sini. Selain itu ada juga agency director dari Singapura yang memang belum mempunyai tempat di sini dan sedang melakukan research di sini, dan  macam-macam lagi.

BL: Apakah dapat tetap fokus bila bekerja di tempat ini?

MU: Untuk fokus itu tergantung bagaimana setiap orang dapat fokus dengan pekerjaannya, misalnya kalau kita ada di area yang agak berisik maka bisa pakai headset. Jadi untuk bisa fokus, itu tergantung saja. Mereka yang bekerja di co working space biasanya memiliki pikiran bahwa mereka tidak perlu full office untuk pekerjaannya, tetapi lebih bahwa mereka ada di sini untuk bisa mingle dengan orang lain. Oleh karena mentalnya sudah begitu, maka mereka akan langsung melakukan networking dengan sendirinya.

BL: Saya ingin tahu dengan persepsi generasi X, sebab previous generation were actually skeptical?

MU: Membutuhkan waktu untuk dapat terbiasa dengan konsep ini. Sebab kadang-kadang ada orang yang pakai celana pendek, ada yang rapi, ada yang pakai kaos ‘doang’ seperti saya, celana sobek, kadang-kadang mereka risih juga. Ya berdasarkan kenyamanan masing-masing saja karena di sini mereka bebas sekali. Kalau mereka ‘ok’ dengan itu, mereka bisa datang ke sini.

BL: Bagaimana tanggapan para generasi X?

MU: Kalau misalnya mereka pas kita bilang pernah dengar co working space tidak? Pasti mereka tidak pernah dengar, soalnya it’s very new lingo, tapi sebenarnya itu konsep yang sangat lama. Seperti service office yang sudah ada sejak lama, kantor itu sendiri selalu memiliki arti sebuah kantor. Sehingga kami menggabungkan gym model membership dengan office. Tetapi di sini juga ada service office. Itu yang kami dapat jelaskan pada mereka, sangat sederhana. Bedanya co working space dengan kantor mereka, kami make sure kami accurate semua tenant, kami datangi komunitas-komunitas tertentu yang kami targetkan.

Michael Judah Sumbayak adalah pengajar di Vibiz LearningCenter (VbLC) untuk entrepreneurship dan branding. Seorang penggemar jas dan kopi hitam. Follow instagram nya di @michaeljudahsumbek