(Business Lounge Journal – News and Insight)
Gelombang investasi raksasa dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) terus melaju. Para CEO perusahaan global, investor, hingga pemerintah berlomba-lomba menggelontorkan dana untuk chip, pusat data, hingga riset lanjutan. Namun satu hal menjadi jelas: antusiasme besar ini belum sepenuhnya diterima masyarakat luas.
Sebuah survei terbaru dari organisasi nirlaba Just Capital menunjukkan adanya jurang persepsi yang signifikan antara para pengambil keputusan dengan masyarakat yang akan merasakan dampak langsung AI dalam kehidupan sehari-hari.
Jurang Persepsi: Optimisme CEO vs Kekhawatiran Publik
Menurut survei tersebut:
- 93% pemimpin perusahaan dan 80% investor percaya bahwa AI akan memberi dampak positif bagi masyarakat.
- Namun hanya 58% masyarakat umum yang memiliki pandangan sama.
Angka ini menggambarkan ketidakselarasan besar antara pihak yang mengembangkan AI dan mereka yang menjadi pengguna akhir. Bagi para eksekutif, AI adalah mesin pertumbuhan baru: otomatisasi, efisiensi, dan inovasi tanpa batas. Sementara bagi publik, pertanyaan dasarnya lebih sederhana: “Siapa yang benar-benar diuntungkan?”
Investasi Mengalir Deras, tapi Kekhawatiran Justru Meningkat
Dalam dua tahun terakhir, puluhan miliar dolar dari anggaran pemerintah dunia dialirkan untuk manufaktur semikonduktor, riset AI, serta pembangunan ekosistem digital. Raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Microsoft, dan Meta mengucurkan ratusan miliar dolar untuk data center, jaringan superkomputer, hingga chip AI generasi baru.
Namun, di balik itu, kekhawatiran publik justru meningkat:
1. Keamanan & Keselamatan (Safety & Security)
Mayoritas responden—baik publik, investor, maupun eksekutif—sepakat bahwa keamanan AI adalah prioritas utama.
Namun terdapat jurang ekspektasi besar:
- Publik dan investor ingin lebih dari 5% anggaran AI dialokasikan untuk keamanan.
- Kebanyakan CEO hanya menyiapkan 1–5% dana untuk aspek tersebut.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa perusahaan jauh lebih agresif mendorong inovasi daripada memikirkan risiko.
2. Ancaman terhadap Lapangan Kerja
Publik mengkhawatirkan bahwa otomatisasi dan AI generatif dapat mengambil alih pekerjaan manusia, terutama pekerjaan administratif, layanan pelanggan, dan pekerjaan rutin berbasis data.
Bagi pekerja, AI bukan sekadar teknologi baru—tapi ancaman langsung terhadap mata pencaharian.
3. Lingkungan
Hanya 17% pemimpin perusahaan yang memasukkan faktor lingkungan dalam strategi pengembangan AI.
Padahal hampir sepertiga publik dan investor percaya bahwa AI akan memperburuk tekanan lingkungan—dari konsumsi energi data center hingga emisi karbon tak langsung.
Siapa yang Akan Mendapat Manfaat dari Keuntungan AI?
Pertanyaan ini menjadi kunci mengapa publik belum “jatuh cinta” pada AI.
Ketika ditanya bagaimana perusahaan akan membagi manfaat ekonomi yang diciptakan AI:
-
Eksekutif lebih memilih mengarahkan keuntungan ke:
- Pemegang saham (28%)
- R&D atau inovasi baru (30%)
-
Hanya 17% yang dialokasikan untuk pelatihan pekerja.
Padahal dukungan publik terhadap adopsi AI sangat bergantung pada apakah perusahaan membantu pekerja beradaptasi. Tanpa pelatihan, sebagian besar tenaga kerja berisiko tertinggal.
Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa AI akan memperlebar ketimpangan antara yang “punya akses” dan yang “tak punya”.
Apakah Kita Sedang Menuju Gelembung Investasi AI?
Valuasi perusahaan AI melambung tidak wajar.
OpenAI dan Anthropic—dua pemain terbesar—masih membakar miliaran dolar per tahun.
Namun perusahaan tetap berlomba-lomba berinvestasi karena takut tertinggal.
Kondisi ini membuat sebagian analis memperingatkan adanya potensi bubble teknologi mirip dot-com tahun 2000. Hype tinggi, pengeluaran besar, tapi monetisasi belum jelas.
Era Penentuan: Bisakah AI Memberi Manfaat untuk Semua?
Martin Whittaker, CEO Just Capital, menyatakan: “Ini adalah masa penentu bagi setiap pemimpin bisnis. Bagaimana menerapkan AI dengan benar—untuk perusahaan, pemegang saham, pekerja, dan masyarakat luas—adalah pertanyaan strategis terbesar saat ini.”
Dan kalimat itu tepat menggambarkan dilema besar AI hari ini.
Teknologi ini punya potensi masif untuk produktivitas, kesehatan, sains, dan pendidikan. Tetapi tanpa tata kelola yang kuat—terutama dalam keselamatan, pelatihan tenaga kerja, distribusi manfaat, dan lingkungan—AI akan memunculkan ketidakpercayaan publik yang dalam.
AI Bisa Jadi Lompatan Besar—atau Jarak Baru dalam Ketimpangan
Publik tidak anti-teknologi. Mereka hanya ingin:
- pekerjaan yang aman,
- perlindungan data yang kuat,
- lingkungan yang tidak rusak,
- dan manfaat ekonomi yang adil.
Hype AI mungkin sedang memuncak di ruang rapat para CEO. Namun tanpa strategi yang mengutamakan manusia, AI berisiko menjadi sumber ketidakpercayaan terbesar di era digital.
Masa depan AI bukan hanya soal kemampuan teknologi—tapi tentang bagaimana organisasi memilih untuk menggunakannya.

