(Business Lounge – Sport) Iga Swiatek, petenis muda asal Polandia, kembali menegaskan dominasinya di dunia tenis wanita dengan meraih gelar juara Wimbledon pertamanya melalui kemenangan luar biasa atas Amanda Anisimova di final. Dalam pertandingan yang mencatatkan sejarah baru, Swiatek menang dengan skor telak 6-0, 6-0—hasil yang dikenal sebagai “double bagel”—dan menjadi yang pertama di final Grand Slam sejak era Steffi Graf pada 1988.
Kemenangan Swiatek di lapangan rumput All England Club ini sekaligus menandai gelar Grand Slam keenam dalam kariernya, menambah koleksi trofi yang sebelumnya didominasi oleh lapangan tanah liat Roland Garros. Pada usia 24 tahun, ia kini telah menyamai pencapaian beberapa legenda tenis dalam hal jumlah major title dan terus menunjukkan kedewasaan permainan serta kedisiplinan yang mengagumkan.
Pertandingan final ini berlangsung singkat, hanya sekitar 49 menit, dan berlangsung satu arah sejak awal. Anisimova, petenis Amerika berusia 22 tahun, yang sebelumnya tampil impresif sepanjang turnamen, dibuat tak berkutik oleh kecepatan, presisi, dan ketenangan Swiatek. Statistik mencatat bahwa Swiatek hanya melakukan empat unforced error sepanjang pertandingan, sambil mencatat 18 winner dan mematahkan semua servis lawannya.
Menurut laporan dari The Wall Street Journal, para pengamat menyebut penampilan Swiatek sebagai salah satu final Grand Slam paling dominan dalam sejarah modern. Bahkan dalam konteks Wimbledon, kemenangan tanpa kehilangan satu game seperti ini belum pernah terjadi di era Open untuk final tunggal putri.
Swiatek sendiri terlihat tenang seusai pertandingan, namun emosinya jelas terlihat saat menerima trofi. Dalam wawancaranya usai pertandingan, yang dikutip oleh Reuters, ia mengatakan: “Saya tumbuh menyaksikan Wimbledon sebagai turnamen paling ikonik, dan bisa berdiri di sini dengan trofi ini, dengan cara seperti ini, sungguh luar biasa. Saya tidak menyangka bisa bermain setenang dan sebaik ini di final.”
Keberhasilan ini sekaligus menepis keraguan tentang kemampuan Swiatek di permukaan rumput, yang selama ini dianggap sebagai titik lemah dalam permainannya. Sejak menjuarai French Open dalam debutnya pada 2020, Swiatek terus berkembang menjadi petenis serbabisa yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap gaya bermain lawan dan kondisi lapangan yang berbeda.
Pakar tenis dari BBC Sport mencatat bahwa kunci sukses Swiatek di Wimbledon tahun ini adalah peningkatan performa servis keduanya dan kemampuan menyerang dari baseline yang lebih agresif dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pelatihnya, Tomasz Wiktorowski, disebut berperan besar dalam merancang strategi yang membuat Swiatek lebih nyaman di lapangan rumput.
Sebaliknya, bagi Anisimova, pertandingan ini menjadi momen pahit dalam perjalanan karier yang sebenarnya tengah menanjak kembali setelah absen panjang dan beberapa cedera. Meskipun hasil final ini mengecewakan, pencapaiannya mencapai final Wimbledon tetap menjadi tonggak penting dalam kebangkitannya sebagai salah satu pemain muda Amerika yang menjanjikan.
Reaksi dari komunitas tenis global pun cepat berdatangan. Banyak mantan juara seperti Martina Navratilova dan Chris Evert memberikan pujian terbuka terhadap dominasi Swiatek, bahkan menyebutnya sebagai kandidat dominan berikutnya untuk mendefinisikan era pasca Serena Williams. “Ia punya kecepatan seperti Halep, ketenangan seperti Barty, dan pukulan forehand seperti prime Serena,” kata Evert di saluran ESPN.
Dengan kemenangan ini, Swiatek juga akan memperkuat posisinya di peringkat satu dunia WTA. Ia kini menjadi satu-satunya petenis aktif yang memenangkan gelar Grand Slam di tiga permukaan berbeda: tanah liat (Roland Garros), hard court (US Open), dan kini rumput (Wimbledon). Prestasi ini langka dan menunjukkan fleksibilitas teknik dan taktik luar biasa yang jarang dimiliki oleh petenis mana pun.
Pihak penyelenggara Wimbledon juga menyambut baik pencapaian Swiatek, yang dinilai telah membawa semangat kompetisi baru dalam turnamen ikonik tersebut. Penjualan tiket dan minat siaran meningkat signifikan selama perjalanannya di turnamen, menurut data dari Sky Sports.
Dalam konferensi pers, Swiatek mengungkapkan bahwa ia tak ingin terlalu terbebani dengan ekspektasi baru. “Saya hanya ingin terus berkembang. Saya tahu dunia akan bicara soal sejarah, soal era baru, tapi buat saya, ini soal konsistensi dan mencintai permainan ini setiap hari,” katanya.

