PHK

PHK Akibat AI Akan Datang, Siapa yang Paling Berisiko?

(Business Lounge-Human Resources) Salah satu perdebatan ekonomi terbesar yang masih menggantung adalah seberapa banyak profesional kerah putih yang akan kehilangan pekerjaan karena kecerdasan buatan.

Di ajang Tech Live Qatar yang digelar oleh The Wall Street Journal pekan ini, isu tersebut mendominasi panggung dan percakapan informal sepanjang acara. Bahkan para eksekutif teknologi yang paling optimistis memandang bahwa pasar tenaga kerja harus bersiap menghadapi gangguan dalam beberapa bulan mendatang.

Perbedaan pandangan muncul ketika membahas seberapa besar dampak yang akan dirasakan dan peran mana yang paling mungkin digantikan AI. Alexis Ohanian, salah satu pendiri Reddit, menilai bahwa musisi besar, atlet, serta penampil langsung akan tetap aman dari pengaruh AI dalam industri hiburan. Namun ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa aktor figuran dan mereka yang tampil di latar belakang film akan menghadapi tantangan jauh lebih besar dibanding para superstar yang menurutnya tidak terancam.

Sam Englebardt, investor media dan teknologi sekaligus mitra di Galaxy—perusahaan layanan keuangan fokus kripto—melihat posisi analis junior di bidang hukum, perbankan, dan konsultansi sebagai pihak yang paling berbahaya posisinya. Ia menilai bahwa dengan arahan yang tepat, model AI dapat menghasilkan pekerjaan lebih baik dan lebih cepat dibanding para associate junior. Ia juga menjelaskan bahwa tim analis dan associate di perusahaannya kini berkurang drastis dibanding setahun sebelumnya karena sejumlah tugas telah diambil alih AI. Menurutnya, pemahaman mendalam dalam memberi prompt pada model AI menjadikan kemampuan angkatan kerja manusia tak mampu bersaing.

Englebardt tidak sepaham dengan argumen bahwa perusahaan akan mempertahankan karyawan dan hanya meningkatkan produktivitas melalui AI. Ia melihat bahwa jika satu orang mampu menyelesaikan pekerjaan sepuluh orang berkat AI, kecil kemungkinan perusahaan akan memilih mempertahankan kesepuluh karyawan tersebut. Ia bahkan memperkirakan bahwa dunia mungkin memasuki era pertumbuhan PDB tahunan lebih dari 10 persen dan tingkat pengangguran yang dapat melampaui 30 persen, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Meskipun begitu, banyak eksekutif di Doha menilai masa depan pasar kerja masih positif, dengan alasan bahwa manusia selalu mampu beradaptasi mengikuti gelombang inovasi teknologi selama berabad-abad. Siddhant Ekale, arsitek senior di Palantir, meyakini bahwa transformasi AI justru akan melahirkan lebih banyak jenis pekerjaan yang belum terpikirkan saat ini.

Namun data terbaru menunjukkan pelemahan pasar tenaga kerja. Laju perekrutan turun signifikan tahun ini, dan serangkaian PHK di Amazon.com, Verizon, Target serta perusahaan besar lain membuat para pekerja lintas industri cemas terhadap keamanan pekerjaan mereka.

Sejumlah eksekutif teknologi senior menegaskan bahwa nilai dari penilaian manusia akan justru semakin penting saat perusahaan memperluas penggunaan AI. Jane Horvath, mantan kepala privasi Apple yang kini menjadi mitra di kantor Gibson Dunn di Washington, mencontohkan adanya pengacara yang dikenai sanksi karena mengandalkan AI dalam menyusun dokumen hukum yang ternyata mengutip kasus palsu. Horvath menekankan bahwa pemahaman kritis merupakan keterampilan paling utama bagi pekerja kerah putih saat ini karena AI dapat menghasilkan teks yang tampak meyakinkan namun tetap perlu pengecekan fakta yang cermat.

Pembahasan AI kemudian beralih pada persaingan perusahaan dalam perlombaan menguasai teknologi tersebut. Ohanian menyoroti memo code red internal di OpenAI yang menunjukkan tekanan keras dari pesaing seperti Google dan Anthropic. Ia menilai bahwa kepemimpinan OpenAI kini diuji untuk menjaga ambisi dan momentum inovasi dalam situasi kompetisi yang sangat intens. Menurutnya, beberapa bulan ke depan akan menjadi periode penting bagi OpenAI untuk membuktikan apakah mereka dapat mempertahankan semangat dan reinventasi diri di tengah kompetitor yang semakin kuat.

OpenAI belum memberikan tanggapan terkait hal tersebut.

Beberapa eksekutif menyampaikan bahwa adopsi AI agresif memungkinkan perusahaan menjaga jumlah karyawan tetap stabil. Jamie Salter, CEO Authentic Brands, menjelaskan bahwa perusahaannya—yang menaungi Reebok, Quiksilver, dan Champion—telah menerapkan alat AI internal untuk penyusunan kontrak hukum, akuntansi, pembuatan materi kreatif, hingga laporan royalti. Ia menyebut perusahaan telah mengakuisisi bisnis baru senilai sekitar 10 miliar dolar AS tanpa perlu meningkatkan jumlah staf secara signifikan, hanya mengganti beberapa posisi tanpa banyak perekrutan tambahan.

Salter menilai keberhasilan tersebut terjadi karena karyawan yang sudah ada bersedia mengadopsi AI dan menjadikan agen-agen AI sebagai pendukung tugas mereka. Ia menilai bahwa era AI menuntut pekerja untuk meninggalkan resistensi terhadap pembelajaran keterampilan baru dan memanfaatkan teknologi untuk mentransformasikan pekerjaan mereka. Menurutnya, AI dapat menghadirkan keajaiban, tetapi tetap dibutuhkan kemampuan manusia yang mampu mengoperasikannya agar keajaiban itu terjadi.