(Business Lounge Journal – News and Insight)
Pro dan kontra untuk menerapkan kerja hybrid terus bergulir. Ada banyak kekhawatiran apakah mereka yang bekerja jarak jauh, dapat tetap produktif dan memberikan hasil yang maksimal. Kekhawatiran ini tidak hanya melanda perusahaan-perusahaan menengah ke bawah, sebab para raksasa dunia pun sedang berjuang mengembalikan para karyawannya untuk dapat bekerja dari kantor. (Baca: Perjuangan Para Raksasa Dunia untuk Kembalikan Karyawan ke Kantor). Padahal, adanya pilihan bekerja dari rumah, telah menjadi daya tarik yang dapat memikat para talent dalam kompetisi antar perusahaan. (Baca: Bagaimana Menarik Perhatian para Kandidat untuk Memilih Perusahaan Anda).
Survei Gallup: Sisi Negatif Bekerja Remote
Gallup mengadakan survei pada kuartal kedua tahun 2023. Dalam survei ini disimpulkan bahwa mereka yang bekerja remote ternyata semakin tidak tekoneksi dengan tujuan organisasi. Secara data, maka jumlah pekerja remote yang merasa terhubung dengan tujuan organisasi terhitung hanya 28% dari 9000 responden. Jumlah ini turun dari sebelumnya 32% pada tahun 2022. Dengan demikian para pekerja remote yang terkoneksi dengan apa yang menjadi visi organisasi menjadi tingkat terendah sejak sebelum pandemi. Wah, hasil survei ini dapat semakin membuat para pemilik usaha semakin khawatir.
Sebaliknya, jumlah pekerja kantoran fulltime yang terkoneksi dengan tujuan organisasi hampir sama dengan tahun lalu, yaitu sekitar 33%. Sedangkan pekerja hybrid menempati posisi tertinggi, dengan 35% yang mengatakan misi perusahaan membuat mereka merasa pekerjaan mereka adalah penting.
Sekali lagi, temuan ini tentu saja dapat memiliki implikasi yang lebih luas bagi perusahaan sedang mempertimbangkan dampak kerja jarak jauh terhadap loyalitas karyawan dan produktivitas tim.
Untuk saat ini, banyak pekerja mengatakan bahwa bekerja jarak jauh ternyata memberi mereka kemampuan untuk hanya fokus pada tugas-tugas penting mereka dan menghindari beberapa hal “sekunder” dalam kehidupan kantor. (Kita akui, selalu ada beberapa hal di luar pekerjaan yang juga akan kita urus ketika kita bekerja di kantor).
Karena itu dapat dikatakan bahwa setiap perusahaan akan menghadapi tantangan untuk menumbuhkan rasa keterhubungan antara semua karyawan dengan tujuan perusahaan. Walaupun mereka bekerja dari rumah, namun mereka mengetahui benar apa yang menjadi visi perusahaan dan bagaimana mencapainya melalui pekerjaan mereka.
Menghapus Mental a Gig-worker Mentality
Singkatnya, semakin banyak pekerja jarak jauh yang melakukan pekerjaan mereka dengan “a gig-worker mentality” atau mental pekerja kontrak dalam memenuhi tanggung jawab dasar mereka dalam jabatannya, maka semakin terganggu pencapaian visi perusahaan. Kekuatiran yang ada adalah bila para pekerja remote bekerja dengan mental pekerja sementara atau pekerja kontrak.
Hal ini penting untuk diantisipasi oleh karena perusahaan tentu saja membutuhkan para pekerja mereka dapat bertanggung jawab memenuhi ekspektasi perusahaan. Jim Harter selaku chief workplace scientist di Gallup menyimpulkan bahwa sebagian besar peran para profesional secara implisit sebenarnya mencakup ekspektasi yang melampaui pekerjaan mereka, seperti melakukan mentoring, mendorong terciptanya inovasi, dan beberapa fungsi managerial lainnya. Sedangkan visi perusahaan akan dapat terpenuhi jika mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang penting.
Pekerja Hybrid lebih Engage dan Antusias
Terlepas adanya fakta bahwa pekerja remote kurang terhubung dengan visi perusahaan, namun data pada survei Gallup menunjukkan 38% pekerja remote, baik penuh atau paruh waktu, merasa lebih engage atau antusias dengan pekerjaan mereka, dibandingkan dengan 34% pekerja di kantor.
Metrik yang saling bertentangan menunjukkan bahwa para atasan tidak mempunyai jawaban yang mudah ketika mereka mencoba memberikan pengaturan kerja yang fleksibel namun tetap mengkhawatirkan produktivitas pekerja. Hampir 30% pekerja di AS yang melakukan pekerjaan jarak jauh bekerja secara eksklusif di rumah, menurut Gallup, jumlah yang tidak banyak berubah selama setahun terakhir. Salah satu alasan mengapa mereka mendapat skor lebih tinggi dalam metrik keterlibatan Gallup dibandingkan rekan kerja di kantor adalah karena mereka memiliki gagasan yang jelas tentang apa yang diharapkan dari mereka.
Kerja Remote Baik atau Buruk?
Banyak manajer yang tidak puas dengan pengaturan saat ini. Dalam survei para pemimpin bisnis Federal Reserve Bank di New York yang dirilis bulan ini, mayoritas mengatakan kerja jarak jauh membantu dalam merekrut karyawan namun memperburuk budaya tempat kerja, kohesi tim, dan bimbingan.
Contohnya adalah bagaimana University of Nebraska Medical Center mengijinkan dokter dapat bekerja beberapa hari setiap minggunya dari rumah dan melihat pasien secara virtual. Namun Howard Liu selaku Chair of the Psychiatry Department di University of Nebraska Medical Center mengatakan bahwa para pekerjanya lebih rentan untuk beralih ke pekerjaan lain, dan merasa kurang terikat dengan tempat kerja. Ada juga risiko bahwa staf pengajar senior mungkin tidak berpikir untuk menyertakan kolega junior dalam presentasi atau proyek jika mereka tidak bertemu langsung dengan mereka. Hal ini dapat menimbulkan pengkotak-kotakan di kemudian hari.
Karena itu, untuk mensiasatinya, Liu dan departemennya merencanakan acara outing pada setiap kuartal. Baru-baru ini mereka juga meluncurkan acara makan bersama dalam kelompok yang lebih kecil (bersama sekitar 10 rekan kerjan) —mulai dari dokter hingga resepsionis.
Strategi untuk Para Pekerja Remote
Perusahaan sedang menyempurnakan cara mereka mengelola tenaga kerja jarak jauh, dengan menambahkan lebih banyak check-in virtual dan aktivitas membangun tim. Beberapa juga mempertemukan mereka secara fisik pada saat-saat yang lebih kritis dalam pekerjaan mereka dengan tim.
Cooper, sebuah perusahaan pemberi pinjaman dan pemberi layanan hipotek yang berbasis di Dallas, memperkenalkan model kerja “home-centric” tahun lalu, yang membiarkan sebagian besar staf tetap bekerja di rumah sambil sesekali meminta mereka datang ke kantor. Namun ketika suku bunga hipotek naik dan bisnis menjadi lebih sulit, manajer penjualan pemberi pinjaman meminta tim mereka untuk datang satu hingga tiga hari dalam seminggu, kata Kelly Ann Doherty, kepala bagian administrasi lembaga tersebut.
Para manajer merasa bekerja on-site akan membantu anggota tim belajar lebih banyak satu sama lain, meningkatkan kinerja individu dan merasa lebih berinvestasi dalam organisasi, demikian dikatakan Doherty. Hal ini membuahkan hasil: Produktivitas meningkat, dan tim telah mencapai lebih banyak kesepakatan sejak saat itu.
Di Microsoft, lebih dari seperempat tim bekerja bersama di lokasi yang sama, dibandingkan dengan 61% di antaranya sebelum pandemi. Perusahaan kini menggunakan data dari penelitian internal mengenai pekerjaan tatap muka dan survei karyawan untuk memandu manajer mengenai waktu paling efektif untuk bekerja tatap muka.
Salah satu temuan awal adalah bahwa karyawan baru yang bertemu langsung dengan manajer mereka dalam 90 hari pertama lebih cenderung meminta umpan balik dari rekan kerja dan mengatakan bahwa mereka merasa nyaman mendiskusikan masalah dengan manajer. Para pekerja ini juga lebih cenderung mengatakan bahwa rekan satu tim mereka meminta masukan dari mereka untuk mengambil keputusan atau menyelesaikan masalah, kata Microsoft.