Potensi Pertumbuham Ekonomi Hijau dan Derkabonisasi di Indonesia

(Business Lounge Journal – News and Insight)

Sekali lagi AC Ventures (ACV) bersama dengan Boston Consulting Group (BCG) merilis sebuah laporan mengenai dekarbonisasi dan dampaknya secara luas terhadap potensi “pertumbuhan ekonomi hijau” di Indonesia. Dalam pelaporan yang berjudul “Catalyzing Indonesia’s Green Growth Potential” ini dijabarkan bagaimana Indonesia memiliki peranan yang sangat penting di dunia dalam melakukan transformasi ekonomi.

Apa yang disebut dengan “Green growth” atau pertumbuhan ekonomi hijau merupakan hal yang mengacu pada jalur pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang berkelanjutan secara lingkungan.

Lauren Blasco selaku Principal – Head of ESG AC Ventures menjabarkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dapat beralih ke ekonomi hijau. Peralihan ini pun menjadi peluang bagi para startup, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta investor yang memainkan peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim.

Jika mengacu pada laporan di atas, yang menjadi pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia melibatkan tiga area fokus utama, yaitu strategi dan layanan profesional (potensi pasar mencapai US$ 46 miliar pada 2030), solusi untuk mengoptimalkan intensitas gas rumah kaca (potensi pasar seniali US$ 350 miliar pada 2030), serta kompensasi emisi (potensi pasar mencapai US$ 3,5 miliar pada 2030). Lalu bagaimanakah untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut secara maksimal?

Sebenarnya Indonesia dapat meningkatkan pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan, mengembangkan kerangka regulasi yang mendukung, serta mengembangkan tenaga kerja yang terampil di bidang lingkungan. Oleh karena itu, langkah-langkah tersebut akan menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi yang ambisius pada 2030, sambil tetap mendukung pertumbuhan ekonomi negara.

Marc Schmidt selaku Managing Director dan Partner BCG Singapura juga menjelaskan bahwa membangun ekonomi rendah karbon dan dekarbonisasi yang terkait akan memberikan peluang bagi para pemangku kepentingan di semua sektor, termasuk juga UMKM. Bagi Indonesia, UMKM ini sangat besar dan penting. Karena itu, partisipasi nan luas dari para inovator juga akan menjadi sangat penting untuk dapat melaksanakan dan menjaga perubahan yang diperlukan dalam ekonomi Indonesia.

Dalam laporan ini juga ditekankan potensi besar dekarbonisasi yang dimiliki oleh Indonesia. Sebagai contoh, permintaan internasional untuk kredit karbon sukarela diperkirakan akan meningkat secara drastis dengan peningkatan sekitar 27% setiap tahun hingga tahun 2030. Saat ini, sekitar 30% dari cadangan karbon dunia terdapat di lahan gambut Indonesia saja. Ketika Indonesia mengenalkan sistem perdagangan yang melibatkan pelestarian lahan gambut tersebut, Indonesia berpotensi menjadi pelaku utama di pasar yang sedang berkembang ini. Karena itu ACV memproyeksikan pasar kredit karbon akan tumbuh menjadi 140 juta ton pada 2030, melompat jauh dari 40 juta ton yang diterbitkan dalam dekade terakhir. Dengan harga proyeksi sekitar 25 dolar AS per ton, pasar ini sendiri berpotensi menghasilkan pendapatan sekitar US$ 3,5 miliar setiap tahun, menunjukkan peluang yang signifikan.

Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara diproyeksikan akan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2050. Karena itu, Indonesia memiliki kepentingan yang besar dalam melakukan transformasi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi hijau. Transformasi ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, melainkan juga merupakan peluang bisnis yang sangat signifikan. Juga dalam laporan ini diperkirakan bahwa nilai peluang pertumbuhan hijau di Indonesia sebesar U$ 400 miliar yang mencakup pendapatan industri dan potensi kompensasi karbon.

Selain itu, dalam laporan ini juga disoroti potensi bagi usaha skala kecil seperti startup dan UMKM, serta investor dan pemberi pembiayaan untuk mendorong transisi Indonesia. Sebagai contoh, Unravel Carbon, sebuah startup yang menyediakan platform dekarbonisasi berbasis SaaS, dan MAKA Motors yang mempercepat adopsi sepeda motor listrik di Indonesia. Keduanya merupakan contoh nyata dari sektor pertumbuhan ekonomi hijau yang sedang berkembang di negara ini. Sementara itu, usaha seperti Fairatmos juga membantu pengembang proyek mitigasi karbon dan membantu membangun ekosistem kredit karbon domestik yang sedang berkembang.

Untuk mengatasi kebutuhan akan sumber daya manusia yang signifikan, terutama di ruang startup hijau, Indonesia telah membentuk Badan Manajemen Talenta Nasional untuk mengembangkan dan mempertahankan bakat. Secara bersamaan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia sedang mendorong praktik keuangan berkelanjutan, dan bank sentral negara ini telah menjadi anggota Network for Greening the Financial System (NGFS).

Hadir dalam peluncuran laporan ini: Brendan Board selaku BCG Project Leader, Marc Schmidt selaku Managing Director dan Partner BCG Singapura, Lauren Blasco selaku Principal – Head of ESG AC Ventures, dan Raditya Wibowo selaku Co-founder dan CEO Maka Motors.