Langkah Brilliant Domino’s Pizza ketika Pizza Rasa ‘Karton’ Hampir Mematikan Bisnisnya

(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)

Sekarang Pizza bukan lagi makanan yang asing di berbagai negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, pizza sering kali menjadi hidangan praktis ketika merayakan ulang tahun, atau sekedar mengisi akhir pekan oleh karena kehadirannya yang mudah ditemukan. Beberapa brand sudah menjadi sangat ngetop termasuk Domino’s Pizza yang telah membuka gerainya di lebih dari 75 negara.

Namun perjalanan Domino’s Pizza sangatlah tidak mudah. Pada tahun 2008, karena menurunnya kepercayaan investor, saham perusahaan ini hanya bernilai $ 2,83 / saham. Namun secara memukau pada tahun 2020, nilai sahamnya tumbuh menjadi $ 367 / saham. Sangat luar biasa! Apa sih yang terjadi sebenarnya?

’30 Menit atau Gratis ‘ – Awal kegagalan Domino’s Pizza

Domino’s Pizza didirikan pada tahun 1960 oleh Tom Monaghan yang saat itu berusia 23 tahun. Untuk mengembangkan bisnisnya ini, ia fokus kepada pengurangan waktu pengiriman, pengurangan waktu memasak, dan peningkatan distribusi. Penekanan Monaghan adalah pada kecepatan dan layanan yang menyebabkan pertumbuhan inovatif dan membuat pesaing sulit bersaing. Jaminan slogan ’30 Menit atau Gratis’, benar-benar menjadikan perusahaan ini selalu diingat oleh mereka yang kelaparan di mana pun.

Demi mempertahankan layanan cepatnya, Domino’s pizza berinovasi sehingga menjadi yang pertama dalam industrinya yang memperkenalkan pemesanan seluler yang juga memungkinkan pelanggannya melacak pesanan mereka.

Pada tahun 2004, Domino’s Pizza mengajukan IPO dan pada tahun 2008, mereka berkembang menjadi bisnis bernilai miliaran dolar. Namun, prospek tampak suram pada tahun 2008 bahkan setelah mengajukan IPO karena pertumbuhan bisnis ini tiba-tiba ‘mandeg’ oleh karena ancaman persaingan dari Pizza Hut ditambah lagi adanya hutang sebesar $ 1 miliar dolar pada neraca Domino.

Focus group analysis – Ternyata kami bukan ahli pizza

Melihat permasalahan yang ada di hadapannya, Domino’s Pizza pun segera melakukan focus group analysis dan menemukan bahwa mereka sebenarnya telah menjadi ahli dalam segala hal namun mereka bukan ahli pizza. Analisa mereka sampai kepada betapa buruknya rasa pizza yang mereka buat bahkan disamakan dengan karton, sama sekali tidak memiliki rasa dan sausnya terasa seperti saus tomat. Hal ini dikarenakan mereka lebih mementingkan  kecepatan sehingga menggunakan bahan kalengan dan makanan beku.

Domino’s Pizza berani untuk menggali kenyataan yang ada bahkan yang hal yang paling terburuk sekalipun bagaimana rasa pizza mereka disamakan dengan karton. Suatu yang menyakitkan tetapi ini adalah sebuah awal untuk dapat bangkit.

Untuk mendapatkan umpan balik, Domino’s meminta para pelanggannya untuk mengunggah foto pizza yang mereka beli beserta komenta. Alhasil, Domino’s harus berlapang dada menerima berbagai komentar menyakitkan, seperti, “Pizza microwave jauh lebih unggul”, “Alasan terburuk untuk pizza yang pernah kumiliki”, dan bahkan kata-kata kotor yang terpaksa harus disensor ketika beberapa umpan balik itu dimasukkan dalam iklan nasional dan di papan iklan video di Times Square.

Sebuah pengakuan sekaligus brilliant campaign – “Our Pizza Sucks”

Patrick Doyle, CEO Domino’s Pizza saat itu, menghargai semua umpan balik yang mereka terima dan meluncurkan kampanye iklan yang mengatakan “Our Pizza Sucks” dan berjanji untuk kembali pada komitmen semula dan akan menyelesaikan semua kritik dari focus group analysis. Ini merupakan sebuah penanganan yang brilliant. Publik menjadi tahu bahwa Domino’s Pizza menerima kritik yang dilancarkan kepadanya dan segera membuat sebuah perubahan.

Tim kuliner harus membuat kembali pizza mereka dari awal. Tim kuliner akhirnya menguji lebih dari 7500 kombinasi. Sebuah rasa takut gagal sebenarnya timbul pada tim eksekutif pada saat itu. Mereka takut uji coba yang mereka lakukan ini justru akan membawa mereka pada masalah yang lebih besar yang memungkinkan mereka juga kehilangan keuntungan oleh karena tidak lagi mengutamakan pengiriman cepat.

Sulit bagi orang – apalagi perusahaan – untuk mengakui kelemahan atau kegagalan. Namun Domino melakukan apa yang sering dilakukan oleh para pemimpin hebat. Ia mengakui ada masalah, dan meminta bantuan untuk mengatasi masalah itu.

Memilih “playing not to lose”

Doyle pun mengubah mindset-nya yang semula “playing to win” menjadi “playing not to lose”. Doyle beranggapan bahwa “rasa sakit karena kehilangan adalah dua kali lipat dari kesenangan karena menang”. Ia pun beranggapan diperlukan sebuah tindakan yang ekstra berhati-hati selama situasi yang menuntut kreativitas. Penemuan kembali terbayar karena pelanggan menyukai setiap resep baru yang diluncurkan oleh Domino’s Pizza. Hal ini terlihat dari salah satu pizza pan yang dirilis pada tahun 2012 dan masih beredar hingga sekarang.

Doyle juga menunjukkan kepada pelanggannya bahwa Domino’s Pizza peduli dengan umpan balik yang diberikan pelanggan.

Setelah sukses dengan rasa pizza-nya, Domino’s Pizza kembali berfokus pada peningkatan saluran distribusi dan teknologi pengiriman. Sejak itu, harga saham Domino’s Pizza terus meningkat sebagai bukti meningkatnya kepercayaan pelanggan terhadap mereka.

Domino’s Pizza telah menggunakan kombinasi dari transparansi, strategi, inovasi, dan pemasaran yang berlawanan dengan intuisi untuk menemukan kembali bisnis mereka.

Ruth Berliana/VMN/BL/Editor in Chief Business Lounge Journal and Partner of Management & Technology Services, Vibiz Consulting