Hindari Kesalahan Berbisnis Para Lulusan Terbaik

(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)

Kenapa banyak orang sukses atau top leader belum tentu berasal dari lulusan terbaik secara akademis atau berasal dari kampus terbaik di Indonesia, bahkan di dunia. Robert T Kiyosaki dalam bukunya “Why “A” students work for “C” students” menulis bahwa mahasiswa yang lulus nilai A biasanya malahan bekerja pada mahasiswa yang nilainya C atau sedang-sedang saja. Mungkin ini juga pengalaman kita sendiri bahwa banyak teman-teman kita sekelas yang rajin, pandai dan nggak pernah nyontek, sekarang nggak menjadi pemimpin-pemimpin yang hebat atau sukses secara ekonomi. Sebagian menjadi pegawai, menjadi peneliti, menjadi dosen, dan bukan duduk pada posisi-posisi puncak. Apakah yang terjadi sehingga kondisi ini banyak terjadi dari generasi ke generasi. Beberapa penelitian menyatakan orang-orang yang cerdas secara akademis memiliki beberapa kekurangan.

Pertama biasanya orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam dunia akademis, tidak percaya orang lain. Ketika kita pintar maka biasanya kita nggak mudah menerima pendapat orang lain. Dia akan melihat siapa yang bicara ini? Dulu lulusan mana? Rangking berapa? Apalagi bila itu teman satu universitas, maka akan sulit sekali untuk percaya, apalagi kalau dulu biasanya nyontek. Jadi kesalahan secara umum, mereka yang pintar secara akademis sulit percaya orang lain. Biasanya kalau kita sulit percaya pada orang lain, maka orang lain pun sulit percaya kepada kita. Kondisi ini membuat mereka ada pada posisi-posisi individualis, seperti dosen, konsultan, peneliti. Profesi yang tidak membutuhkan siapapun. Padahal untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses, pemimpin sebuah perusahaan haruslah percaya pada orang lain. Memimpin sangat membutuhkan sikap percaya, dan dipercaya. Leadership adalah influence, nah influence hanya terjadi pada saat orang percaya pada kita. Bagaimana kita dipercaya adalah pada saat kita percaya orang lain. Kemampuan kepemimpinan ini tidak akan bisa terjadi kalau kita ini individualis. Dalam kondisi inilah maka orang-orang yang cerdas secara akademis banyak yang tidak berhasil saat memimpin.

Praktisnya sulit memberikan delegasi, sulit juga untuk mengembangkan orang lain. Kondisi ini membuat seorang yang cerdas secara akademis cenderung mau melakukan semuanya sendiri. Bila ia diberi kepercayaan untuk sebuah posisi yang melibatkan banyak orang, bisa terjadi maka akan terjebak menjadi unorganized leader. Kenapa? Habis waktunya untuk mengerjakan, atau memastikan semuanya benar, sebab dia paling cerdas. Padahal seorang pemimpin perusahaan adalah kerika span of control-nya semakin luas. Semakin mampu banyak orang semakin dipercaya untuk menanjak ke posisi yang lebih tinggi, sampai kepada posisi puncak. Sedangkan seorang yang cerdas secara akademis, maka mengalami kesulitan sebab semuanya akan dikerjakan sendiri. Karirnya tidak menanjak, sebab menjadi unorganized leader. Begitu juga saat menjadi pengusaha, tidak percaya pada orang lain membuat bisnis tidak jalan, sebab semua dikerjakan sendiri.

Kelemahan seorang yang cerdas secara akademis seringkali akan menjadi tinggi hati. Sedangkan untuk dipercaya orang lain, karena kita rendah hati. Dalam sebuah diskusi dengan para pemimpin perusahaan, saya mengajak melakukan penelitian pribadi kepada tim mereka, hal apa yang disukai dan tidak disukai dari kepemimpinnya? Maka banyak yang memberikan jawaban bahwa mereka disukai karena kerendahan hati mereka. Tapi beberapa menjawab hal apa dari mereka yang tidak disukai adalah bahwa mereka tidak mau mendengarkan. Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan yang berhasil terletak pada kemauan untuk mendengarkan orang lain. Tentu saja hal ini adalah hasil dari sikap seorang pemimpin yang rendah hati. Kerendahan hati merupakan karakter seorang pemimpin sukses. Salah satu bentuk kerendahan hati adalah kemauan untuk mendengarkan orang lain. Sebaliknya saat kita merasa paling cerdas, paling keren, maka akan sulit untuk mendengarkan orang lain. Tentu saja gaya kepemimpinan ini membuat tujuan organisasi tidak akan tercapai, sebab terjadi penolakan akibat ketidaksukaan. Sikap ini membuat seorang yang cerdas secara akademis sering kali sulit untuk diterima oleh orang lain. Sikap tinggi hati tidak bisa juga jalan di bisnis, butuh kerendahan hati saat berjualan, kalau tidak berjualan bisnis pasti akan gagal. Tinggi hati memang akan selalu membuat kegagalan.

Pengaruh kecerdasan akademis, seringkali membuat seorang bertindak sangat prudent, sehingga segala sesuatu harus dihitung dengan matang, baru dijalankan. Kondisi ini pastinya diperlukan, tapi tidak untuk seorang pemimpin yang mau berbisnis, semuanya akan dilakukan dengan cepat. Perhitungan cepat ini yang menjadi kelebihan seorang pemimpin bisnis. Kecerdasan ini tidak didapatkan secara akademis. Saya tertarik mempelajari business acumen, ini diperlukan untuk dimiliki oleh mereka yang cerdas secara akademis. Jadi bukan saja smart leader tapi smart business leader. Kemampuan ini perlu ditambahkan pada orang yang cerdas di kampus, tanpa ketajaman bisnis maka pasti kalah gesit dengan pemimpin yang lain. Bisnis yang berhasil adalah mengubah peluang menjadi keuntungan. Lamanya menganalisa peluang ini akan membuat kehilangan kesempatan menghasilkan bisnis yang menguntungkan. Banyak pebisnis yang kita jumpai biasanya tetap hidup bersahaja dan enak juga diajak bicara. Jadi kalau mau berbisnis memang mesti berjalan dengan kerendahan hati.

Dengan pembahasan ini apakah berarti sekarang kita mengajarkan pada generasi muda untuk tidak sekolah saja? Robert T Kiyosaki sendiri akhirnya berpendapat demikian. Dalam bukunya yang lain, Wisdom from Rich Dad, Poor Dad: What the Rich Teach Their Kids About Money–That the Poor and the Middle Class Do Not!  Robert mengajarkan hal yang sama, kalau mau berhasil jangan sekolah. Bagaimana sekarang? Tentu saja saya melihat dari para konglomerat sendiri, para businessman sukses yang saya kenal sekarang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah top dunia. Anak-anak mereka menjadi second generation yang punya keahlian bisnis dan kemampuan akademis. Founder Go Jek, Nadiem Makarim adalah alumni Master of Business Administration di Harvard Business School. Malahan sekarang Nadiem menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan keinginan setiap siswa, mahasiswa merdeka dalam belajar, menentukan masa depannya. Tentulah dari beberapa contoh ini patut disadari bahwa dunia akademis tetap diperlukan, apalagi dalam perkembangan jaman, sudah banyak perubahan yang dilakukan oleh institusi pendidikan untuk mendekati dunia usaha. Bentuk-bentuk pendidikan vocational dimaksudkan agar dunia akademis menjadi praktis dan dapat menyerap kepentingan bisnis dengan cepat. Menjadi lulusan yang terbaik saat ini menjadi prioritas, tetap mendapat nilai A adalah lebih baik dari nilai C. Hanya perlu belajar dari pengalaman, hindari  karakter-karakter yang membawa kegagalan, seperti kita bahas di atas dan biasakan mulai dari awal memiliki karakater-karakater yang membawa keberhasilan terutama adalah be humble, tidak menganggap diri lebih dari yang lain, menyadari bahwa setiap orang lain memiliki kelebihan, dan kita memerlukan mereka, mendengarkan dengan empati, memberikan penghargaan kepada mereka  karena tanpa mereka kita tidak akan berhasil. Semoga berhasil!