Layanan Kesehatan Digital, Mampukah Menjadi Solusi?

(Business Lounge – Medicine)

Pergeseran kultur saat ini sedang menjalar ke berbagai bidang aspek kehidupan. Budaya instant, cepat, dan hemat waktu, itulah budaya masyarakat kekinian. Tidak dapat dipungkiri daripada kelamaan di jalan untuk membeli sesuatu yang sudah pasti, maka pilihan hemat waktu dan kenyamanan adalah online shopping. Daripada bermacet-macet lama di jalan dan melelahkan, mending milih naik ojol.

Pergeseran kebiasaan tersebut pun mulai merambah ke dunia kesehatan. Tawaran berobat online sudah mulai bermunculan dan semakin banyak pilihannya. Perubahan mindset bagaimana cara memeriksakan kesehatan mulai terjadi, tidak perlu lagi mengunjungi dokter saat sakit, cukup dengan pemeriksaan by online dengan video call atau WhatsApp saja. Sudah banyak aplikasi yang dikenal masyarakat Indonesia seperti Halodoc, Go-dok, Klikdokter, Alodokter dan lainnya yang semakin tahun semakin berkembang. Bahkan kini sudah ada aplikasi kesehatan digital sudah menggunakan teknologi artificial intelligence, contohnya Prixa.

Dunia startup kini bukan hanya banyak di bidang fintech namun juga kesehatan digital. Penggunanya terbanyak rata-rata adalah usia 18-24 tahun yang sangat fasih dengan dunia digital. Menurut  Steve Aditya, Leader Life Science & Healthcare Deloitte Indonesia pengguna aplikasi kesehatan online ini baru 10% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Memang bagi sebagian masyarakat khususnya generasi Baby Boomer dan generasi X, mungkin masih belum bisa merasa nyaman dengan online konsultasi dokter. Dengan adanya pergeseran nilai yang terjadi dalam masyarakat kekinian dan diperhadapkan dengan kondisi yang ada, generasi ini pun lambat laun sedang menuju kesana. Di luar negeri seperti Jepang, Singapore, Australia memang sudah berkembang penggunaan aplikasi medis, dengan penggunaan layanan kesehatan digital ditujukan untuk klaim konsultasi dokter yang  mengurangi biaya bertemu dengan dokter secara langsung.

Bagaimanakah Dunia Medis  Indonesia Menanggapinya?

Layanan kesehatan digital ini memang sempat menimbulkan perdebatan dan polemik. Pasalnya ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan hanya dengan bertemu di media sosial atau melalui aplikasi. Dokter perlu juga melakukan pemeriksaan fisik untuk dapat menegakkan diagnosis.  Keamanannya pun masih dipertanyakan.

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Daeng M. Faqih, S.H, M.H, dalam acara peluncuran layanan GrabHealth, di Jakarta pada 10 Desember 2019 lalu, menyampaikan bahwa aplikasi kesehatan digital adalah sarana untuk berkonsultasi dan bukan untuk memberikan terapi.  Konsultasi yang dimaksud misalnya:

  • Konsultasi untuk mengarahkan pasien apakah perlu ke dokter atau tidak
  • Memberikan petunjuk pertolongan pertama pada pasien sebelum ke dokter
  • Konsultasi untuk second opinion, seperti yang sudah banyak dilakukan di luar negeri.
  • Menjawab pertanyaan mengenai seputar obat-obatan namun tidak memberikan terapi, ataupun memberikan rekomendasi obat bebas yang dapat dibeli tanpa resep dokter.

Menurut dr. Daeng M. Faqih, S.H, M.H,  ada tiga kunci pelayanan kesehatan yang harus diterapkan dalam digital health, yaitu :

  1. Akses yang cepat
  2. Menjamin kualitas layanan
  3. Menjamin keselamatan dari pengguna platform.

Dokter yang bergabung dalam memberikan layanan kesehatan digital haruslah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan Surat Ijin Praktik (SIP). Jadi jelas, bukan dokter abal-abal melainkan dokter yang telah berpengalaman dan layak praktik. Dokter sendiri harus meningkatkan kemampuan digital communication skill untuk berkonsultasi dengan  kualitas tinggi dan tetap menjaga etika medis.

Kepuasan Pengguna

Mengutip hasil survei Deloitte Indonesia, Bahar, dan Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia yang melakukan survei kepuasan pelanggan kesehatan digital maka hasilnya sebesar 15,6% pengguna merasa tidak puas dengan adanya layanan kesehatan digital. Hal ini disebabkan karena adanya kekuatiran bocornya  data pengguna. Sedangkan 84,4% menyatakan puas dengan alasan biaya murah, kepraktisan, dan konsumen memiliki banyak pilihan. Jika ditemukan solusi dan payung hukum untuk permasalahan keamanan data pengguna, maka dapat dipastikan tingkat kepuasan pengguna akan semakin tinggi.

Regulasi Pemerintah

Pemerintah, melalui Kemenkes,  telah merilis regulasi Peraturan Menterin Kesehatan (Permenkes/PMK) Nomor 20 Tahun 2019 yang berlaku 7 Agustus 2019. Regulasi ini mengatur penyelenggaraan pelayanan kesehatan telemedicine antar fasilitas pelayanan kesehatan. Namun untuk regulasi yang mengatur keamanan data pengguna layanan kesehatan digital belum ada hingga saat ini.

Dalam Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 dijelaskan bahwa telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.

Kemenkes sendiri  kini telah memiliki empat aplikasi bidang kesehatan yakni Sehat Pedia, Indonesia Health Facility Finder (IHeFF), e-sign, dan e-post Border Alkes PKRT. Keempat aplikasi ini diciptakan untuk menjadi solusi kesehatan masyarakat Indonesia.

Tidak ketinggalan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI)  pun pada akhir 2019 kemarin, menghadirkan ‘Klinik Pintar IDI’ melalui kerja sama dengan Medigo, sebuah startup kesehatan yang berfokus pada digitalisasi rumah sakit dan klinik.  Harya Bimo selaku CEO Medigo menyatakan  Klinik Pintar IDI memiliki visi menjadi jaringan klinik digital nomor satu di Indonesia untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh seluruh stakeholders industri kesehatan di era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).  Harya Bimo menjelaskan bahwa Klinik Pintar  IDI membantu pengelolaan klinik modern yang bertujuan untuk memberdayakan dokter-dokter di Indonesia dengan mengedepankan Value Based Care yang memungkinkan pasien mendapatkan akses mudah terhadap pengalaman layanan kesehatan yang baik (good patient experience), hasil layanan kesehatan yang lebih baik (better patient outcome), dan biaya yang murah (affordable cost). Contoh layanannya adalah rujukan ke mitra rumah sakit dan layanan telemedicine antar faskes, layanan home care, dan health monitoring untuk pasien yang dirawat di rumah.

Nah bagaimana? Dunia kesehatan digital Indonesia sudah sangat berkembang bukan? Tidak ada salahnya mencoba aplikasi kesehatan online ini yang pastinya hemat waktu dan biaya pemeriksaan, khususnya jika Anda belum merasa perlu ke rumah sakit untuk penyakit ringan yang Anda rasakan.

dr. Vera Herlina,S.E.,M.M/VMN/BL/Partner of Management & Technology Services, Vibiz Consulting