Dual Control untuk Otoritas SDM

Sparrow dengan tali

(Business Lounge Journal – Human Resources) Apa sih dasar memberikan serangkaian upaya retainment kepada karyawan yang hendak mengundurkan diri? Ya, tentu saja pada umumnya perusahaan masih membutuhkan sang karyawan. Bilamana paket yang ditawarkan menarik, maka tentu saja layak untuk dipertimbangkan. Dalam hal ini, departemen SDM memerlukan sebuah kelihaian khusus untuk membujuk karyawan hingga dapat memilih stay. Tidak jarang, berbagai janji manis pun diberikan, mulai dari pemberian bonus, kenaikan gaji, kesempatan promosi, pemberian  assignment dan banyak lagi. Namun bagaimana jika kemudian karyawan yang pernah dipertahankan ini dianggap tidak lagi diperlukan dan kemudian tidak lagi diperlakukan dengan spesial? Fair-kah?

Sebuah pengalaman nyata ketika seorang rekan yang bekerja pada sebuah lembaga keuangan swasta bercerita bagaimana salah seorang anggota timnya pernah ditawarkan paket retensi ketika hendak mengundurkan diri. Merasa paket yang ditawarkan lebih menarik dari pekerjaan baru yang sudah menunggunya, si karyawan pun memutuskan untuk menerima paket retensi tersebut. Namun kemudian berjalannya waktu, tanpa sebuah alasan yang jelas, ia dianggap tidak memiliki performance yang bagus. Merasa tidak dapat menerimanya, ia pun mengajukan pertanyaan kepada pihak SDM yang pernah meretensinya. Secara tidak diduga, ia mendapatkan jawaban yang sangat mengejutkan. Bahwa menurut pihak SDM, retensi yang pernah diberikan adalah berdasarkan kinerja pada waktu yang lalu, bukan berdasarkan kinerja pada saat ini. Saat ini, penilaian pada saat retensi diberikan sudah tidak berlaku lagi? Sangat mengejutkan sebab penjelasan yang diberikan ini diberikan oleh seorang tim SDM. Seakan kehabisan kata-kata mendengar alasan tersebut, si karyawan hanya dapat berkomentar bahwa si SDM harus menyadari bahwa ia tidak sedang memperlakukan mesin atau sebuah barang, tetapi sedang memperlakukan seorang manusia.

Kisah lainnya, ketika seorang karyawan departemen SDM tidak mau menerima persetujuan tertulis dari seorang kepala bagian dan menghendaki supaya sang kepala bagian dapat berbicara langsung berkenaan sebuah permohonan eksepsi yang diajukan. Wah, seakan-akan seperti bagian yang sangat dihormati dan disegani.

Sebagai bagian dari dunia SDM, saya sangat sependapat dengan komentar yang mengatakan bahwa “SDM harus menyadari bahwa mereka tidak sedang memperlakukan mesin atau sebuah barang, tetapi sedang memperlakukan seorang manusia.”

Berbincang dengan beberapa klien juga beberapa rekan, maka sering kali departemen SDM seolah menjadi raja kecil dalam sebuah perusahaan. Tidak jarang mereka disegani bahkan ditakuti, oleh karena memiliki kuasa untuk memberikan surat peringatan ataupun sedikit ancaman terhadap penilaian kinerja. Atau juga, dapat mengubah-ubah kebijakan sesuai dengan kepentingan pihak tertentu. Hal ini jelas bertolak belakang dengan peranan melayani SDM yang seharusnya dimiliki. Lalu, bagaimanakah sebaiknya mengelola otoritas yang dimiliki oleh SDM? Siapakah yang harus bertanggung jawab jika peranan SDM telah disalahartikan? Tentu saja sejak awal secara sederhana perlu dimiliki kesepakatan antara pemimpin tertinggi SDM dengan jajaran direksi yang memiliki otoritas atas departemen SDM. Atau dapat dikatakan bagaimana ditentukannya sebuah struktur yang jelas untuk menciptakan adanya dual control pada departemen SDM. Bukan hanya semata-mata tanggung jawab kepala bagian, namun harus adanya direksi yang ikut bertanggung jawab, dengan demikian akan membatasi otoritas SDM guna mencegah adanya kesewenang-wenangan.

Ini tidak hanya berbicara tentang organisasi dalam skala besar, tetapi juga dalam skala yang kecil.

ruth_revisiRuth Berliana/VMN/BL/MP Human Capital Development Division, Vibiz Consulting, Vibiz Consulting Group