Negosiator Global

 

Negosiator Global (3)

(Business Lounge Journal – Essay on Global)

Tawar saja harga semurah-murahnya kalau Anda sedang berbelanja di Pasar Malam Ratchada, Bangkok. Sebab sering kali si penjual pun tidak kira-kira memasang harga dengan ‘kejam’. Jika si penjual memberikan harga pembuka, coba saja memberikan penawaran pertama setengah harga dengan nada suara yang dibuat sedikit acuh. Jika kelihatannya agak sulit, siap-siaplah memasang wajah tidak peduli, palingkan wajah, memutar badan, dan bersiap untuk segera meninggalkan toko. Biasanya, serta merta si penjual akan memanggil dan dengan cepat-cepat menurunkan harganya. Masih tidak sesuai? Jangan cepat setuju. Berhenti sejenak, lemparkan lirikan sambil gelengkan kepala Anda dan minta untuk si penjual menurunkan harganya lagi. Biasanya, strategi ini mendulang kesuksesan.

Anda bisa melakukan hal yang sama saat Anda berkesempatan berbelanja di sebuah pasar di pinggiran Kota Vancouver, Kanada yang hanya berlangsung pada musim panas. Jika Anda beruntung, Anda akan dapat memiliki gadget dengan harga yang sangat murah.

Tetapi jangan lakukan itu di Pasar Seni Ubud sebab bisa-bisa Anda hanya akan mendengar ucapan sinis, “Beli saja di Hongkong!” yang akan mengiringi langkah kaki Anda. Strategi yang sama tidak dapat Anda terapkan di segala situasi.

Tidak ada yang dapat ditutupi dalam tradisi tawar menawar di pasar, semua akan mencerminkan watak asli dan budaya masyarakat setempat.

Lalu bagaimana dengan tawar menawar yang terjadi di gedung-gedung pencakar langit? Negosiasi yang berlangsung antara para raksasa bisnis?

Masih ingat Enron, raksasa energi Amerika yang pernah berjaya sebelum kemudian dinyatakan bangkrut pada lebih dari 10 tahun yang lalu karena sebuah skandal yang terjadi? Salah satu kisah yang pernah beredar adalah ketika perusahaan ini harus kehilangan kontrak besar di India oleh karena pemerintah setempat merasa Enron mendorong negosiasi terlalu cepat. Bagi mereka yang di India, negosiasi yang dapat berjalan dengan lebih lambat akan membantu untuk dapat memupuk rasa percaya, sedangkan bagi sebagian orang di belahan bumi lainnya akan merasa waktu adalah uang, sehingga negosiasi harus dilakukan dengan cepat.

Lalu bagaimana saat mie milik Nestle yang juga di-banned di India? Untuk menyelamatkannya, maka Nestle pun menerbangkan salah satu Managing Director-nya yang berdarah India untuk dapat melakukan negosiasi.

Pada kenyataannya, Anda tidak hanya membutuhkan keahlian dalam berbahasa untuk dapat bernegosiasi lintas budaya, tetapi bagaimana Anda dapat menyesuaikan diri dengan budaya negosiasi serta norma-norma yang ada akan sangat membantu Anda untuk memenangkan sebuah negosiasi.

Di sini, di Indonesia, jika Anda dapat berbasa-basi dengan lihai dan berhasil mengambil hati partner bicara Anda, Anda dapat memenangkan sebuah negosiasi. Hindari untuk langsung pada pokok pembicaraan sebelum lawan bicara Anda merasa nyaman dengan Anda.

Namun tidak demikian jika Anda melakukannya dengan orang-orang Amerika yang cenderung to the point dalam melakukan negosiasi. Anda hanya perlu melakukan perkenalan singkat untuk kemudian masuk ke pokok negosiasi. Bilamana terjadi perselisihan maka tanggapi saja dengan melakukan konfrontasi dan kemudian mengakhirinya dengan sebuah konsensi. Tetapi dengan orang Jepang, penting bagi Anda untuk membina kepercayaan terlebih dahulu. Alih-alih langsung masuk ke topik negosiasi, membicarakan seputar keluarga dan pengalaman liburan akan menjadi hal yang sangat menarik untuk mengawali perbincangan dengan calon mitra Jepang Anda. Terbinanya sebuah kepercayaan menjadi hal yang penting bagi orang Jepang, walaupun untuk itu mereka harus membuang waktu dan biaya. Oleh karena itu sering kali pertemuan-pertemuan pembuka dilakukan hanya untuk sekedar berbincang, tukar menukar cindera mata hingga terjalin sebuah rasa percaya. Namun tahapan ini justru sangat kritikal untuk memenangkan sebuah negosiasi.

Di Inggris, hindarilah untuk melakukan konfrontasi, sebab mereka cenderung memiliki gaya bicara yang elegan, santun, dan bersahaja. Pada umumnya, mereka merasa jengah untuk berbincang masalah-masalah pribadi sehingga penting bagi Anda untuk memiliki keterampilan mengolah kata-kata. Namun kesulitan yang akan Anda hadapi adalah untuk dapat mengetahui persis apa yang mereka inginkan dengan gaya tersirat yang selalu mereka ungkapkan sambil berharap lawan bicaranya akan mengerti maksud yang ingin disampaikannya. Sambil memperhatikan nada suara, ekspresi wajah, tidak ada salahnya untuk menkonfirmasi pemahaman apa yang Anda dapatkan.

Tetapi berbicara dengan orang Prancis dan Jerman, Anda terbuka untuk dapat berdebat dengan penuh semangat dan logis disertai dengan kenyataan atau data-data yang Anda miliki. Jangan harapkan untuk dapat langsung sampai kepada sebuah keputusan, sebab orang Prancis dan Jerman sangat menghargai hirarki, setiap aspek dan kesepakatan akan berasal dari sudut pandang banyak orang sehingga akan dibutuhkan waktu yang lebih panjang. Diperlukan kesabaran sebagai bentuk komitmen dan profesionalisme. Saat berkomunikasi dengan orang Jerman, hindari pernyataan yang bertentangan, misalnya melontarkan pujian namun juga sebuah keluhan. Juga jangan gunakan lelucon, bahasa slang, atau istilah sehari-hari dalam negosiasi Anda. Jalan satu-satunya untuk membuat sebuah kesepakatan adalah dengan memberikan pandangan-pandangan yang logis.

Sementara berbincang dengan orang Korea, Anda akan merasa bersemangat dan dengan cepat sampai kepada sebuah kesepakatan.

Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semua memiliki kebiasaannya masing-masing dan Andalah yang harus menyesuaikan diri jika mereka bertindak sebagai di tuan rumah.

Ruth Berliana/VMN/BL/MP Human Capital Development Division, Vibiz Consulting, Vibiz Consulting Group