Penerapan PPh 1 Persen Berdasarkan PP No 46

(Business Lounge – Tax) – Pemerintah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2013 tentang Pajak untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebesar 1 persen pada 1 Juli 2013 ini. Di dalam PP ini sudah ditandatangani  oleh Presiden yang mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) final 1 persen atas omset usaha dibawah 4,8 Milyar.

Berdasarkan PP Nomor 46 yang dikenakan PPh final adalah yang memiliki kriteria sebagai berikut :

  1. Wajib pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk BUT (Bentuk Usaha Tetap)
  2. Menerima penghasilan dari usaha (Tidak termasuk penghasilan dari pekerjaan bebas) dengan peredaran bruto / omset yang tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar dalam satu tahun pajak.

Sedangkan yang dikecualikan dari pengenaan PPh final adalah sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usahanya menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik menetap maupun tidak menetap, dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan (Contoh : Pedagang Kaki Lima).
  2. Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersil
  3. Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersil memperoleh omset diatas 4,8 M

Pekerjaan bebas dikecualikan dari pengenaan PPh final 1 persen. Pekerjaan bebas yang dimaksud adalah pekerjaan bebas yang terdiri dari :

a)      tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

b)      pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;

c)       olahragawan;

d)      penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

e)      pengarang, peneliti, dan penerjemah;.

f)       agen iklan;

g)      pengawas atau pengelola proyek;

h)      perantara;

i)        petugas penjaja barang dagangan;

j)        agen asuransi; dan

k)      distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Penerapan dari PPh final 1 persen ini didasarkan oleh omset Tahun lalu dalam satu Tahun Pajak yang tidak melebihi dari 4,8 M. Apabila Wajib Pajak tersebut baru berdiri pada tahun 2013 ini maka PPh final didasarkan omset sejak saat Wajib Pajak tersebut terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini (Juli 2013) dan disetahunkan.  Jadi apabila omset yang dihitung melebihi 4,8 M maka pengenaan PPh 1 persen ini harus diterapkan. Penyetoran PPh paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan Pelaporannya akan diatur pada awal tahun 2014 nanti.

Contoh :

1 Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku cadangnya. Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2 buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak X dan bengkel B terdaftar di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut :

Peredaran bruto bengkel A = Rp. 100.000.000

Peredaran bruto bengkel B = Rp. 150.000.000

Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp. 250.000.000. Karena total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari 4,8M maka atas penghasilan dari usaha yang diterima Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto.

Misalkan pada bulan Januari 2014 Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari bengkel A dan B sebesar 10 dan 15 juta maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15 februari jatuh pada hari sabtu) maka Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar :

A Bengkel A

PPh                        = 1% x Rp 10 Juta = 100.000 dilaporkan ke KPP X

B Bengkel B

PPh                        = 1% x Rp 15 Juta = 150.000 dilaporkan ke KPP Y

Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira Ekspedisi melakukan perawatan dan reparasi 5 motor milik perusahaan tersebut di bengkel A milik Agus. Tagihan yang dibuat kepada PT Amira sebesar 1,5 juta. Atas tagihan tersebut PT Amira melakukan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2% x 1,5jt = 30Ribu. Namun demikian, jika Agus telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X atas pembayaran tagihan tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 23 oleh PT Amira.

(Wimpy/IC/BL)