(Business Lounge – Business Today) – Harga rumah di lingkungan permukiman mewah Gangnam di Seoul—yang dipopulerkan oleh penyanyi pop asal Korea Selatan, Psy—telah menanjak sebesar 25% per tahun. Tetapi, pembatasan kredit perumahan yang diberlakukan pemerintah membekukan pasar properti tersebut.
Di Toronto, Kanada, harga rumah berbalik dan melorot dalam lima bulan belakangan. Titik balik itu terjadi setelah pemerintah menerapkan aturan baru guna meningkatkan jumlah cicilan per bulannya.
Namun, di Tel Aviv, Israel, harga rumah terus naik. Dalam tiga tahun terakhir, harga apartemen dengan tiga kamar tidur naik hingga 11%. Padahal bank sentral telah mendongkrak batasan uang muka minimum serta mempersulit pihak perbankan memberikan kredit perumahan.
Eksperimen-eksperimen semacam ini menjadi bahan perhatian bank sentral di banyak negara. Jera akibat krisis keuangan terburuk dalam 75 tahun, bank sentral mencari cara untuk menghentikan arus deras pinjaman sebelum berkembang menjadi bubble alias gelembung—lonjakan nilai aset hingga jauh di atas nilai alamiahnya. Selain itu, bank sentral juga ingin memaksa perbankan untuk memperkuat diri guna mengantisipasi kemungkinan krisis mendatang.
Salah satu cara efektif menurunkan arus pinjaman adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Namun, itu bukan langkah yang menjadi prioritas bank sentral apabila inflasi berada di titik rendah dan angka pengangguran bertambah—sebagaimana terjadi di banyak negara.
Sejumlah bank sentral bereksperimen dengan hanya menargetkan sektor-sektor tertentu dengan aktivitas keuangan berlebih. Bubble keuangan acap kali melibatkan sektor real estate, maka banyak pihak memusatkan perhatian untuk mengendalikan booming harga properti dengan menekan kredit perumahan. Apalagi, sektor tersebut berada di tengah pusaran krisis keuangan yang terbaru.
Sektor itu bukan satu-satunya fokus. Indonesia, contohnya, melarang pengajuan kredit motor tanpa uang muka. Korea Selatan menerapkan retribusi untuk mencegah bank meminjam dolar dalam jangka pendek.
Sejauh ini, hasil yang didapat dari seluruh dunia tidak sepenuhnya sama. Di beberapa tempat, eksperimen tersebut menghasilkan efek yang diinginkan. Sementara di tempat lain, dampaknya jauh dari harapan.
Prinsip aturan baru itu adalah untuk melindungi keseluruhan sistem keuangan dan perekonomian, dan para ekonom mengacunya sebagai kebijakan makroprudensial. Hal tersebut membedakannya dari kebijakan mikroprudensial, yang melukiskan pengawasan demi menjamin keamanan dan kesehatan bank secara individu.
Konsep ini mencemaskan sejumlah ekonom. “Perangkat makroprudensial masih baru dan efektivitasnya tidak banyak diketahui,” ujar Olivier Blanchard, kepala ekonom Dana Moneter Internasional. Ia telah menerbitkan 23 kertas kerja yang menyinggung masalah itu dalam tiga tahun terakhir.
Teknik-teknik makroprudensial telah memicu debat antar bank sentral, regulator perbankan, dan akademisi mengenai faedahnya. Beberapa pihak menganggap makroprudensial sekadar nama lain untuk campur tangan pemerintah dalam menentukan arah modal, sebuah kebijakan yang sangat tidak populer di mata publik.
Namun pendukung makroprudensial beranggapan bahwa ketergantungan terhadap pasar telah menyebabkan krisis finansial terburuk sepanjang sejarah.
“Banyak yang berpikir, kita cukup menunggu krisis usai dan kemudian membereskannya,” ujar Kim Choong-soo, gubernur bank sentral Korea Selatan. “[Tapi] krisis yang kita hadapi sangat besar, dengan dampak yang besar, sehingga kami mulai percaya bahwa pencegahan adalah opsi terbaik dengan risiko terkecil.”
Balada Kredit Motor di Indonesia
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang kuat membuat jutaan warga mampu membeli sepeda motor. Pada tahun 2000 volume penjualannya hampir satu juta unit, sedangkan pada 2011 lebih dari 8 juta sepeda motor terjual—tiga perempatnya adalah kredit. Banyak pembeli yang mengajukan kredit dengan tidak membayar uang muka (DP).
Bank Indonesia (BI) khawatir bank-bank mulai kelewatan memberi pinjaman bagi nasabah yang tidak sanggup membayar. Pada Juni 2012, BI mulai mensyaratkan pembeli sepeda motor membayar DP minimum 25%. Tahun itu penjualan motor turun sekitar tujuh juta unit atau 12%. Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia memprediksi penjualan motor akan lebih terpuruk tahun ini.
Tjio Hok Sie, tukang listrik berusia 45 tahun, baru-baru ini membeli sepeda motor Honda seharga Rp 14 juta melalui kredit. Ia mencicil Rp 950.000 per bulan selama 16 kali. Tjio mengaku lebih senang jika tidak perlu membayar DP, namun ia paham pemikiran pemerintah. “Banyak orang membeli sepeda motor tanpa membayar DP, padahal mereka tidak bisa membayar cicilannya,” ujar Tjio.
Sejumlah pembeli sepeda motor menemukan cara mengakali persyaratan ini. Larangan kredit tanpa DP tersebut awalnya tidak berlaku bagi kreditur dari lembaga perbankan syariah. Bisnis kredit mereka pun meroket sampai BI memperluas cakupan aturan DP motor ini bagi mereka, April lalu. Akal-akalan seperti ini salah satu risiko yang harus dihadapi, jika pemerintah menerapkan kebijakan hanya bagi sektor tertentu dan tidak menaikkan suku bunga pinjaman secara menyeluruh.
Muhammad Ikhwan, manajer penjualan di sebuah dealer Honda di Jakarta Pusat, mengaku bisnisnya turun 20%. Dia mengatakan dia setuju dengan pemerintah, karena uang muka yang lebih tinggi berarti kredit macet yang juga berkurang. Namun sebagai penjual sepeda motor dia tidak setuju karena pendapatannya jadi berkurang.
(ic/IC/BL-WSJ)